Mohon tunggu...
Yudi Hardi Susilo
Yudi Hardi Susilo Mohon Tunggu... Apoteker - Master of Clinical Pharmacy

Pernah belajar tentang obat dan racun

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kenapa Obat Harus Dimusuhi?

16 Maret 2017   23:48 Diperbarui: 17 Maret 2017   00:00 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berada di tengah masyarakat, sering terdengar suara-suara yang menyerukan "hindari narkoba", "waspada obat palsu", "lebih baik mencegah daripada mengobati', dan gencarnya penyebaran informasi efek samping obat yang berbahaya dengan bahasa-bahasa yang juga terdengar horor di telinga awam. Ketakutan mengkonsumsi obat menjadi sebuah fenomena yang sering ditemui dan bahkan tidak sedikit orang yang telah benar-benar sakit, namun menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menggunakan obat. Hampir semua kalangan seolah "terpaksa" menyepakati opini umum yang berkembang, bahkan ketika opininya kebablasan pun tak bisa berbuat banyak karena takut melawan arus. 

Sekarang kita bandingkan saja obat dengan benda lain yang dianggap "aman-aman' saja, seperti pensil, gelas, air mineral, buah-buahan atau pun barang-barang yang juga terdengar sedikit horor di telinga misalnya pisau, senapan dan pistol. Adakah opini yang berkembang untuk "hindari pensil"," jauhi gelas","waspada buah palsu", "lebih baik haus daripada minum air mineral" atau "perangi senapan". Bukankah ketika pensil bila disalahgunakan juga bisa berbahaya, misalnya untuk korek telinga? Bukankah gelas bila disalahgunakan juga bisa berbahaya, misalnya pecahannya untuk terapi akupuntur? Bukankah buah-buahan yang disemprot dengan pestisida juga berbahaya? Bukankah air mineral yang disalahgunakan untuk campuran bensin juga berbahaya? Hampir semua barang termasuk obat bisa disalahgunakan, namun apakah kemudian bila ada kasus penyalahgunaan pensil, gelas, air mineral itu kemudian disikapi dengan penarikan barang-barang tersebut. Masyarakat yang tidak menyalahgunakan barang-barang tersebut masih banyak yang membutuhkan, demikian juga dengan obat.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Secara definisi, menurut Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, obat adalah bahan atau panduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Sangat jelas sekali bahwa obat berkonotasi baik dan bermanfaat. Definisi obat lebih ditekankan maknanya sebagai senyawa kimia yang berguna bagi manusia. Kaidah lama dari Paracelcus berbunyi : "dosis sola facit venenum", yang artinya semua substansi adalah racun, yang membedakannya adalah dosis yang tepat. Bagaimana caranya mengetahui bahwa obat tersebut tidak tepat bagi kita, padahal meskipun diberikan jenis obat yang sama dengan dosis dan rute pemberian yang sama, namun menurut Prof Lukman Hakim Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta, profil kadar obat di dalam darah dan respon obat, tidak akan sama antar individu. 

Obat dibuat untuk diambil manfaatnya bagi masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal penyalahgunaan obat, yang salah bukan obatnya, tapi yang menggunakannya.  Untuk itu bukan obatnya yang kemudian dibuat kosong ketersediaannya di masyarakat sehingga kemudian kebingungan ketika ada orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Bisa dibayangkan kalau obat-obat diuretik seperti furosemide injeksi dan sejenisnya hilang dari pasaran, maka pasien udema di rumah sakit bisa tidak tertolong. Atau parasetamol yang saat ini digembar-gemborkan di media mempunyai efek samping berbahaya berupa hepatotoksik, maka kehilangan parasetamol di pasaran akan membuat masalah baru bila tidak ada pengganti yang lebih aman, misalnya bagi ibu hamil. 

Barangkali orang tidak pernah membayangkan betapa susahnya membuat parasetamol (sintesis parasetamol). Kalau membuat tabletnya yang berisi parasetamol relatif gampang, meski juga perlu belajar ilmu farmasi teknologi sediaan padat, sehingga bisa menghasilkan tablet yang padat diluar dan bisa hancur ketika kita minum. Bila salah formula pembuatan tablet, bisa jadi sudah kita minum tidak bisa dicerna dan keluar tetap berbentuk tablet. Tidak mudah bagi yang tidak memiliki ilmu farmasi. Yang lebih susah lagi adalah men-sintesa parasetamolnya itu sendiri dan kemudian dijadikan dalam skala pabrik. Kalau selama ini anda membayangkan ilmu farmasi "cuma itu-itu saja", ada mungkin bisa menakar kira-kira dari empat rute sintesis parasetamol, yaitu rute nitrasi dari klorobenzen, rute nitrasi dari fenol, rute reduksi dari nitrobenzene dan asetamidasi dari hidrokuinon, manakah yang lebih efektif dan efisien, terutaman untuk industri farmasi. Dari susahnya mensintesis obat, kemudian perlu kecermatan dalam hal teknologi sediaannya, belum lagi bila dikalkulasi dalam skala industri, uji klinik dan penelitian yang memakan waktu panjang, kemudian disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan kemudian penyalahgunaan ini disikapi dengan cara penarikan obat yang tidak tahu salahnya dimana, sebagai farmasis saya nangis batin. Itu baru satu obat. Masih banyak obat-obat lain yang saat ini begitu gencar diopinikan berbahaya bagi masyarakat melalui jargon-jargon yang menakutkan, serta pelaporan efek samping obat yang harus dievaluasi lebih lanjut akar permasalahannya. Yang lucu, nama pabrik obat juga dimusuh. Kalau pabriknya menuntut pencemaran nama baik, bisa kacau balau yang pasang baliho besar-besar di jalan.

Mencintai obat tidak salah. Banyak orang yang memang bila tanpa obat akan turun kualitas hidupnya. Bukan berarti ketergantungan dalam arti negatif. Anggap saja ada sebuah celah kosong dalam diri kita, jika dibiarkan akan mengganggu aktivitas yang ada. Perlu obat untuk mengisi celah itu. Orang diabetes perlu insulin. Simvastatin bermanfaat untuk dislipdemia. Obat antipsikotik juga diperlukan untuk terapi skizofrenia. Narkotika juga diperlukan untuk pasien yang tingkat nyerinya sangat tinggi. Semua obat ada indikasinya yang tepat. Belajar ilmu farmasi bisa mulai dari sekolah menengah selama 3 tahun. Jenjang akademi juga ada selama tiga tahun. Jenjang sarjana bisa 3-4 tahun. Pendidikan apoteker selama setahun. Lanjut pascasarjana dua tahun hingga doktoral. Semua mempelajari obat, karena obat memang bukan sembarangan. Kalau tidak punya latar belakang, pernah belajar ilmu farmasi, kemudian mengurusi obat, ya tunggu saja produk program yang dihasilkan. Apoteker kompetensinya diperbaharui selama lima tahun sekali untuk menjaga kualitas dan mutu dalam mengawal penggunaan obat, namun justru orang yang tidak punya kompetensi diberi kekuasaan untuk mengurusi obat dengan alasan yang terkadang mengherankan. 

Sadarlah bahwa obat bukan untuk dimusuhi. Evaluasi program-program yang sudah terlanjur salah kaprah di masyarakat. Lupakan pencitraan asal atasan suka, atau target pemusnahan obat yang dari dulu tidak ada habis-habisnya. Mulailah dengan mendidik orang-orangnya, menempatkan orang-orang yang berkompeten pada bidang yang memang dikuasai.  Orang-orang pintar di dunia farmasi melimpah ruah untuk menata peredaran, penggunaan atau bahkan produksi serta penemuan obat baru. Apa susahnya???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun