"I'd like one papaya salads, please."kata Anin sambil menunjukkan gambar katalog yang ada didepannya.
Dari pesanan makannyanya, sebenarnya Anin tidak begitu lapar. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang lebih penting daripada sekedar makan.
"Nun, .... boleh saya bicara?"kata-kata Anin seperti panah yang siap mengarah ke jantungku.
"Ya ... silakan."aku mencoba tenang.
Anin kemudian membuka tasnya perlahan. Aku mengamatinya dengan detail yang membuat terus bertanya-tanya dalam hati. Dari dalam tasnya, rupanya Anin mengeluarkan ponsel yang kemudian dia tunjukkan sebuah pesan singkat yang tersimpan dalam kotak masuk surat.
"Ardi melamarku dua hari yang lalu, Nun. Bagaimana menurutmu? Aku belum menjawabnya karena ingin bertemu denganmu terlebih dahulu. Namun rupanya takdir mempertemukan kita dalam situasi seperti ini." ucapan Anin meluncur dengan lancar.
"Hah, kenapa dengan aku?" tanyaku dengan nada agak heran. Bisa saja dia memutuskan sendiri. Tidak ada hubungannya dengan aku.Â
Hufft kenapa hatiku jadi tidak karuan dengan kabar ini. Lidah terasa pahit dan sudah tidak ada selera makan lagi. Apakah aku cemburu? Untuk apa? Bukankah memang tidak ada hubungan apapun antara aku dengan Ardi? Bukankah aku hanya berniat belajar hingga selesai di negeri orang ini? Ahhh pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam hati yang begitu membingungkan bagiku.
"Kamu khan teman main Ardi dari kecil Nun. Aku pengen tahu apakah Ardi dulu punya pacar di kampung halamannya?"tanya Anin dengan sedikit bernada menyelidik.
"Kalau soal pacar, aku tak tahu. Tapi Ardi sudah memilih kamu. Itu artinya meskipun dia punya pacar sekalipun, dia telah menetapkan hatinya untukmu. Aku tahu persis dengan sikap Ardi dari kecil. Penuh pertimbangan memang, namun begitu memutuskan sesuatu berarti itu adalah yang terbaik, tidak hanya baginya namun keputusan terbaik dan yang terbaik."aku mencoba memberikan pendapatku sebisanya meskipun menahan perasaan yang semakin tidak jelas.
Sesekali aku menarik napas dalam setipis mungkin agar Anin tidak melihatnya.