17 April 1955
Malam itu hujan lebat, teramat lebat di sebuah dukuh kecil di daerah Batur, Dieng. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti benda besar jatuh hingga terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Legetang rata dengan tanah, Gunung Pengamun-amun terbelah rompal menjatuhinya dan mengubur 351 manusia di dalamnya.
Legetang, legenda desa maksiat yang hilang diazab. Begitulah kira-kira cerita dari berbagai mulut manusia yang berusaha menjadi Tuhan bagi lainnya. Masyarakatnya suka berjudi, lenggeran sampai malam hari, keblinger sampai berhubungan badan dengan sejenisnya. Jika bukan azab, sebutan apa untuk musibah bagi Kaum Sodom Gomorah yang berperilaku seperti kaumnya Nabi Luth di Dukuh Legetang ini. Hingga lebih dari enam dekade, tak ada sumber pasti penyebab runtuhnya Gunung Pengamun-amun ke Lembah Legetang. Dari semua cerita, yang tersisa hanyalah tugu peringatan dan stigma : Legetang, desa yang hilang karena praktek homoseksualitas.
Sesederhana itukah ?
***
Masyarakat Legetang sebagian besar adalah petani, mereka bercocok tanam di kebun seiring dengan suburnya kawasan Lembah Dieng. Seperti kebanyakan masyarakat agraris di Indonesia, kepercayaan antara manusia dan alam menjadi satu ikatan penting. Hubungan antara petani dan alam terjalin dalam sebuah produk kebudayaan, salah satunya tarian. Legetang, desa yang makmur ini dulunya tetap melestarikan ronggeng atau lengger. Tarian lengger tidak apat dipisahkan dari keyakinan bahwa lengger adalah bentuk rasa syukur terhadap hasil panen sekaligus penghormatan kepada Dewi Sri. Para lelaki menari tayub, mengiringi seorang lengger yang menari dan nembang dengan sensual. Gerakan tariannya sering berbau erotis dan jauh dari kesan kelemahlembutan seperti tarian Jawa wetanan.Konon, gerakan-gerakan tersebut dipercaya mempengaruhi kekuatan dan kesuburan (Spiller, 2010 : 84).
Lengger berasal dari kata leng yang artinya lubang (wanita) dan jengger yang artinya terjulur (pria) dengan kata lain lengger ditarikan oleh pria dengan berpakaian wanita begitu pula dengan riasan dan gerakannya. Dalam Bausastra Jawa-Indonesia (S. Prawiroatmojo) yang diterbitkan Tahun 1957 disebutkan bahwa asal muasal lengger justru memang ditarikan oleh penari pria bukan oleh para penari wanita seperti sekarang ini. Walaupun demikian komunitas kecil lengger lanang di Banyumas masih tetap ada.
"Erotika tidak perlu belajar dari Barat,karena sudah mengakar ada di Nusantara. Erotika di masyarakat Indonesia, ibarat bahan pangan seperti beras,gula atau garam yang dimport dari Barat,padahal sudah ada berabad-abad di Indonesia. Bahkan sebelum kolonial dan agama-agama "import" datang ke bumi Nusantara."Elizabeth D Inandak, seorang penyair asal Perancis yang menerjemahkan dan menafsirkan kembali Serat Centhini memberikan pernyataan atas sejarah homoseksualitas di Indonesia. Sejarah lengger ini bisa dijadikan acuan bahwa ternyata homoseksualitas sudah ada sejak jaman dahulu, bahkan sebelum para penjajah datang. Eksistensi LGBT di Banyumas tercatat di Zaman Mangkunegaran VII pada Serat Centhini jilid 5 yang masyhur dan dijadikan referensi sebagai kitab kamasutra Jawa. Dalam beberapa tembangnya, Serat Centhini juga menggambarkan kisah cinta yang vulgar antara penari lengger Nurwitri, Mascebolang dan Adipati Wirasaba.
"Kiai Adipati hatinya sungguh-sungguh hanyut oleh Nurwitri, penari laki-laki. Ki Adipati sedikit mabuk brem, tape dan tua. Ia mabuk bercampur asmara. Nurwitrilah yang menjadi sasaran asmaranya. Baru kali inilah ia berkehendak yang janggal. Nurwitri dibawa pulang ke rumah tembok bagian belakang. Kiai adipati berkata, "Nurwitri majulah sedikit, saya akan tidur karena itu selimutilah dan bersenandunglah. Nurwitri menjawab, ya, sambil mengerling dan mengatupkan bibirnya. Kiai Adipati segera memeluk leher Nurwitri. Ia gemas maka Nurwitri dicubit kemudian bibir dan pipinya dihisap dan dicium. ...tingkahnya tidak berbeda dengan menghadapi wanita".
Barulah sekitar abad ke-18, timbul berbagai perubahan besar dalam struktur sosial budaya di nusantara yang diakibatkan oleh meningkatnya arus perniagaan, pembentukan negara yang terkonsolidasi, dan juga berkembangnya pengaruh agama-agama seperti Islam, Kristen maupun ajaran Konfusianisme yang cenderung berorientasi menempatkan posisi laki-laki di atas dan mengabaikan peran perempuan (dan transgender). Perubahan sosial budaya ini menjadi semacam alat kendali masyarakat sekaligus pembatasan legitimasi peremuan (dan transgender). Praktek dan simbol seksualitas dianggap tabu, primitif serta bentuk ketidakberadaban atas kearifan penduduk lokal.
Lengger mewakili dualisme kekeramatan. Di satu sisi lengger dianggap melambangakan sisi kesucian dan kemagisan, di sisi lain lengger dianggap sebagai aktivitas pemenuh hasrat seksual. Pada tahun 1955, dualisme lengger ini lah yang menjadi tarik menarik dua kutub ideologi berbeda yang sedang bertarung demi memenangkan Pemilu 1955. Mengapa demikian ?
Persaingan partai Islam yang diwakili oleh Masyumi dengan partai komunis (PKI) pada Pemilu 1955 merembet dari panggung elite sampai ke grassroot. Majalah Hikmah yang menjadi corong media propaganda Masyumi dalam rubrik "Lawan & Kawan" pada 15 Januari 1955 menyampaikan keputusan sidang majelis syuro Partai Masyumi. ... "Seorang muslim jang mengikuti komunisme atau organisasi komunis... maka ia adalah sesat", tulis Majalah Hikmah yang mengutip keputusan sidang majelis syuro Masyumi, 23-24 Desember 1954. Sebagai balasannya, PKI melalui Harian Rakjat melancarkan serangan balik dan menuduh Masyumi merupakan partai penebar teror dan berkiblat pada Kartosuwiryo (pemimpin pemberontakan Darul Islam). Baik Masyumi maupun PKI mempunyai materi propagnda politik dan menancapkan paham-paham mereka hingga ke akar rumput tak terkecuali dengan dukuh kecil, Legetang.
Legetang, daerah yang makmur dan menjaga tradisi lenggeran pun tak ayal menjadi daerah perebutan ideologi. PKI melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) seringkali memanfaatkan seni untuk propaganda politiknya termasuk juga ronggeng/lengger. Musibah yang terjadi di Legetang, 17 April 1955 distigmatisasi dan sering diasosiasikan sebagai azab Tuhan kepada LGBT oleh orang-orang yang berkepentingan dalam kesuksesan Pemilu 1955. Propaganda Legetang desa yang hilang sukses menjadi cerita turun temurun dan dipercaya bentuk musibah atas aktivitas maksiat dan ketidakbearadaban.
Stigmatisasi LGBT melalui kisah Legatang di 1955 menjadikan kita sebagai Warga Indonesia yang hidup pada masa sekarang harus lebih bijaksana serta melihat satu permasalahan dari berbagai sudut pandang. Legetang di Tahun 1955 dijadikan propaganda politik, mereka saling bertarung untuk kepentingan mereka sendiri meskipun pada dasarnya seksualitas itu bersifat pribadi, dan terbukti bahwa LGBT di tahun tersebut dijadikan korban kontestasi kepentingan psikologis, sosial, kultural hingga politik.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa dulu Indonesia adalah negeri yang majemuk, menghormati perbedaan gender dan keanekaragaman seksualitas yang dianggap sebagai bentuk kepercayaan atas keseimbangan alam dan kesuburan, bukan sebagai masalah moral. Dinamika politik 1955 turut membuat celah diskriminasi bagi para penari lengger dan memberikan stigma kuat pada aktivitas berbau seksual terlebih kepada homoseksualitas dengan menyamakan musibah Legetang sebagai azab bagi Kaum Sodom Gomorah di Kawasan Dieng ini.
Dieng adalah suatu kawasan vulkanik aktif dan merupakan gunung api raksasa. Â Longsor Gunung Pengamun-amun bukanlah satu-satunya tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Dieng. Namun, mengapa Legetang seolah-olah menjadi model propaganda sebagai desa yang diazab dan turut serta memberikan ruang diskriminasi bagi LGBT bahkan hingga sampai dengan dekade sekarang ini ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H