Persaingan partai Islam yang diwakili oleh Masyumi dengan partai komunis (PKI) pada Pemilu 1955 merembet dari panggung elite sampai ke grassroot. Majalah Hikmah yang menjadi corong media propaganda Masyumi dalam rubrik "Lawan & Kawan" pada 15 Januari 1955 menyampaikan keputusan sidang majelis syuro Partai Masyumi. ... "Seorang muslim jang mengikuti komunisme atau organisasi komunis... maka ia adalah sesat", tulis Majalah Hikmah yang mengutip keputusan sidang majelis syuro Masyumi, 23-24 Desember 1954. Sebagai balasannya, PKI melalui Harian Rakjat melancarkan serangan balik dan menuduh Masyumi merupakan partai penebar teror dan berkiblat pada Kartosuwiryo (pemimpin pemberontakan Darul Islam). Baik Masyumi maupun PKI mempunyai materi propagnda politik dan menancapkan paham-paham mereka hingga ke akar rumput tak terkecuali dengan dukuh kecil, Legetang.
Legetang, daerah yang makmur dan menjaga tradisi lenggeran pun tak ayal menjadi daerah perebutan ideologi. PKI melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) seringkali memanfaatkan seni untuk propaganda politiknya termasuk juga ronggeng/lengger. Musibah yang terjadi di Legetang, 17 April 1955 distigmatisasi dan sering diasosiasikan sebagai azab Tuhan kepada LGBT oleh orang-orang yang berkepentingan dalam kesuksesan Pemilu 1955. Propaganda Legetang desa yang hilang sukses menjadi cerita turun temurun dan dipercaya bentuk musibah atas aktivitas maksiat dan ketidakbearadaban.
Stigmatisasi LGBT melalui kisah Legatang di 1955 menjadikan kita sebagai Warga Indonesia yang hidup pada masa sekarang harus lebih bijaksana serta melihat satu permasalahan dari berbagai sudut pandang. Legetang di Tahun 1955 dijadikan propaganda politik, mereka saling bertarung untuk kepentingan mereka sendiri meskipun pada dasarnya seksualitas itu bersifat pribadi, dan terbukti bahwa LGBT di tahun tersebut dijadikan korban kontestasi kepentingan psikologis, sosial, kultural hingga politik.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa dulu Indonesia adalah negeri yang majemuk, menghormati perbedaan gender dan keanekaragaman seksualitas yang dianggap sebagai bentuk kepercayaan atas keseimbangan alam dan kesuburan, bukan sebagai masalah moral. Dinamika politik 1955 turut membuat celah diskriminasi bagi para penari lengger dan memberikan stigma kuat pada aktivitas berbau seksual terlebih kepada homoseksualitas dengan menyamakan musibah Legetang sebagai azab bagi Kaum Sodom Gomorah di Kawasan Dieng ini.
Dieng adalah suatu kawasan vulkanik aktif dan merupakan gunung api raksasa. Â Longsor Gunung Pengamun-amun bukanlah satu-satunya tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Dieng. Namun, mengapa Legetang seolah-olah menjadi model propaganda sebagai desa yang diazab dan turut serta memberikan ruang diskriminasi bagi LGBT bahkan hingga sampai dengan dekade sekarang ini ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H