/1/
Mestinya aku menulis ribuan kata pada senja itu
Rangkaian kalimat yang telah kususun dari kisahku sendiri
Harusnya aku memahat langit dengan sisa-sisa awan yang tercecer
Jika jingga yang tercipta adalah warna yang ia berikan
/2/
Pada malam aku memasung rindu akan seraut wajah
Tidaklah terlalu naïf jika aku pun berharap dengan gumamanku
Kata-kata yang biasa tertulis dalam lembar-lembar catatan langit
Berharap hujan nanti akan ikut menurunkannya
dan menjadinya kenyataan yang tidak hanya sekedar sebuah keajaiban
Seperti yang sering kau ucapkan,
“bertanyalah pada Tuhan saja..”
/3/
Terlalu bijak kau ucapkan itu, sayang..
Sebab aku mendera mimpi dan harapan dalam kenyataan
/4/
Aku memerlukan keberanian
Kau malah tertawa sinis,
“Bagaimana takdir Tuhan saja..”
Lagi-lagi kau menggantang lamunan utopiaku
Dimana aku menyebut itu kesempatan...
/5/
"Inilah perjalanan sunyi, sayang.."
Dimana aroma udara terkadang hanya menyisakan pengap
Lelah yang mendera adalah lanjutan dari letih yang menghempas
Sekali-sekali ingin rasanya berlari kencang sekencang-kencangnya
Melampaui angin yang berhembus atau kilatan cahaya yang membuat pendar perjalanan
/6/
"Aku telah lama mati suri"
Jauh sebelum aku tak sanggup menggigit nadiku sendiri
Aku tersedak..dan melodrama ketakberdaayaan yang menyesakkan dada ini adalah sinonim kehidupan maka aku kembali bertanya,
"Mengapa aku masih ada disini?"
sejak kerlap bintang yang sering kupuja dalam sajakku adalah pesan yang tersesat dan terkatung sebelum akhirnya hanya datang untuk mengabarkan,
“Bagaimana takdir Tuhan saja..”
Jember, 17 Oktober 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H