Aku tidak sedang menumpuk kata-kata, aku sedang mengatakan padamu kata demi kata, tentang serpihan rasa-rasa yang pelan-pelan diarsir dari bongkahan besar yang tiap hari menghimpit dada.Â
Lihat wajahku yang memerah kala memadu mata denganmu. Wajahku yang serta merta menunduk, disusul badanku yang pelan tapi pasti, beranjak menjauh darimu. Aku bukan takut denganmu, tapi hanya khawatir bongkahan besar rasa didadaku akan nampak di matamu, meski sekedar bayangnya saja, aku sudah malu.Â
Gigiku  terjerat lidahku yang kaku. Mulutku terkatup, meski isi kepala ku berontak, berlarian, berkejar-kejaran mengeja aksara, merangkai kata-kata, dan memaparkan ratusan kalimat cinta yang abadi eloknya. Tapi tetap sepi dalam suara. Semua hanya bertalu dalam ramai yang senyap.Â
Kata mereka, ini derita. Menyungging cinta, dalam kesendirian, satu arah tatapan mata. Bagiku, aku menikmatinya, meski hanya terasa oleh ragaku saja. Meski kamu selalu berlalu, 1 detik, tanpa sedikitpun rasa yang menyebrang ke mataku. Tak mengapa, tak terfikir juga kamu ikut merasa, tak mungkin juga.Â
Adanya kamu, sudah memberi ramai di kepalaku, memberi bongkahan rasa yang menghimpit didadaku. Tanpamu, mereka tiada.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H