Ibu Kristy yang diberi mandat oleh kepala sekolah sebagai penanggung jawab  kegiatan yang juga  merupakan penduduk desa setempat, meminta izin untuk wawancara sekaligus membolehkan untuk siswa praktek ikut "tandur". Untuk sesi kunjungan belajar kali ini, ada 3 orang siswa yang turut untuk mengikuti kegiatan ini. Masing masing siswa sudah membawa pedoman wawancara yang sudah disiapkan sebelumnya.
Ibu ibu petani rupanya tipikal pekerja yang ramah dan senang berbagi. Tiap siswa menanyakan berbagai hal teknis tentang proses penanaman, biaya bahkan tentang pengolahan hasil panen juga dijawab dengan senang, ramah dan sabar. Siswa yang cenderung masih hijau mengenai bercocok tanam menjadi penasaran dan antusias.Â
Bagi anak anak ini, melewati pematang sawah saja menjadi hal menarik bagi mereka. Melewati jembatan kayu yang insidental dipasang di sungai kecil juga jarang mereka temui. Yang paling menarik adalah saat mereka diminta untuk ikut tandur oleh ibu petani. Ekspresi mereka adalah bingung, senang sekaligus khawatir. Ada yang merasa takut ada ular di lumpur sawah, takut dengan belut bahkan takut kotor.Â
Mencelupkan tanaman padi muda ke lumpur memberi pengalaman yang spesial. Para siswa serius dan sangat senang melakukan aktivitas ini. Ini jadi pengalaman empirik pertama mereka untuk terjun ke sawah apalagi menanam padi. Siswa menjadi tahu bahwa dalam proses mencelupkan tanaman padi ada alat alat yang diperlukan baik itu blak maupun tali ukur, dalam menanam juga perhitungan jarak tanam antar tanaman dan urgensi adanya jarak tersebut sehingga diperlukan ditanam rapi dalam segaris lurus. Berbagai permasalahan juga diungkapkan. Dari tikus yang masih menjadi hama yang sangat mengganggu dan solusinya yang belum efektif. Ada juga mengenai petani yang belum sadar tentang kerawanan harga karena permainan tengkulak.Â
Milenial Nyawah
Pemandangan ini jarang terjadi, anak anak milenial bercocok tanam di sawah. Di desa ini saja yang tandur rata rata usianya 60 tahun keatas, meski mereka masih sangat perkasa namun tentunya jelas membutuhkan regenerasi. Dan faktanya masih jarang remaja dan pemuda yang berminat terjun di pertanian.Â
Belajar Nyawah langsung di sawah adalah salah satu alternatif untuk milenial mengenal dan menyenangi dunia pertanian. Yang belakangan menjadi dunia yang ditinggalkan karena kalah glamor oleh dunia digital yang sedang kekinian.
Membelajarkan secara empiris memberikan dampak pada siswa. Mereka merasakan langsung proses padi menjadi beras yang tiap hari mereka makan. Nilai karakter saling menghargai jerih payah petani diharapkan mampu membuatnya menghargai makanan. Dan yang lebih lagi mereka mengenal pertanian sebagai salah satu pilihan karir mereka untuk digeluti dan disenangi. Tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara agraris yang potensial dalam pertanian. Mengingat luasnya wilayah dan kesuburan tanah di Indonesia yang butuh ada yang bersedia untuk  menggarap dan mengembangkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H