Kamu ingat? Aku pernah memberimu coklat. Ku bungkus pita berwarna jingga.Â
Disimpan rapi waktu membawa nya. Tiap diperempatan lampu merah ku raba, kawatir jatuh dan gagal rencana.Â
Tak benar benar aku punya rencana. Sepanjang jalan begitu banyak kata yang bergelayutan. Apa kabarmu? Lahir tahun berapa? Kamu sedang apa? Aku mengganggu tidak? Huh, makin banyak yang ku pikir, makin besar resah yang menghinggap.Â
Pintu rumahmu seperti menuju rumah hantu. Makin dekat tanganku mengetuk, makin berdebar jantungku berdegub. Aku ragu apakah senyum simpul yang terlihat atau raut wajah datar yang memberi penanda aku harus bersiap pergi.Â
Seperti bidadari, manis yang dirasa. Wajahmu memerah, guratmu berurai indah. Aku takluk dalam senyum mu yang merekah. Aku bingung, tak sanggup memandang. Tapi ingin, sangat ingin terus melihat.Â
Lupa, lupa, lupa. Hilang semua rencana. Ku berikan saja coklat itu. Mungkin kamu tertawa. Melihatku kuyup berlulur keringat. Malu.
Coklat kamu ambil dari tanganku, sambil tersenyum kamu berucap " makasihh yaa" kamu tersenyum.... ahhh bintang terindah seperti hadir dibumi, diwajahmu kala itu. Dalam senyummu yang berwarna. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H