Mohon tunggu...
Yudi Arlan
Yudi Arlan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seseorang yang bisa mengambil keputusan tepat bahkan saat dalam tekanan. Setiap pekerjaan yang ada selalu saya kerjakan dengan detail dan selesai tepat waktu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Argumentasi Mengenai Sistem Pendidikan di Indonesia

7 April 2023   23:25 Diperbarui: 7 April 2023   23:30 1566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama               : Yudi Arlan

NPM               : 202114500231

Kelas               : S1B

Mata Kuliah    : Bahasa Indonesia

SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Mengapa sistem Pendidikan di Indonesia begitu tertinggal dari negara-negara lain. Berkaca lagi dari negara Finlandia sebagai negara dengan sistem Pendidikan terbaik di dunia. Ternyata sistem Pendidikannya tidak berbeda jauh dari negara Indonesia. Salah satunya masalah tes ulangan atau ujian. Di Finlandia itu sekolah tidak ada yang namanya ulangan harian, tidak ada Ujian Nasional (UN), satu-satunya ujian pun ketika dia berumur 16 tahun untuk tes kualifikasi ke perguruan tinggi nanti. Disana mereka menganggap kalau misalkan ulangan itu cuma akan menghancurkan tujuan belajar dari siswa-siswanya. Tapi pertanyaannya mengapa mereka bisa jadi negara dengan siswa-siswa terbaik, siswa-siswa dengan kemampuan akademi yang mumpuni. Menurut saya itu karena disana orang orientasinya belajar untuk bisa, tetapi di Indonesia orientasinya belajar untuk bisa tapi untuk bisa mengerjakan ulangan. Bahkan gak sedikit juga yang menyontek, kenapa? Ini sebenarnya karena nilai itu lebih dihargai dari pada kejujuran faktanya memang begitu.

Jika dibandingkan dengan negara lain seperti sistem Pendidikan yang digunakan oleh negara Finlandia, Sistem Pendidikan di Finlandia adalah salah satu yang terbaik didunia, di Finlandia anak-anak tidak di perkenankan masuk SD kalau belum berusia 7 tahun, sedangkan di Indonesia bisa lebih dini. Di Finlandia selama SD itu nilai dan ranking tidak jadi patokan sedangkan di Indonesia lebih diperhatikan dan menjadi tolak ukur. Di Finlandia tidak ada namanya kelas abselerasi atau binsus berbeda dengan di Indonesia. Di Finlandia siswa tidak dinilai dari ujian, pekerjaan rumah, atau tugas. Di Indonesia nilai jelek menjadi kegagalan. Di Finlandia waktu istirahat itu lebih banyak, di Indonesia setidaknya hanya cukup waktu untuk makan saja. Di Finlandia biaya sekolah itu gratis tergantung kemajuan negaranya, di Indonesia dana Pendidikan di korupsi. Di Finlandia semua guru itu minimal bergelar master sedangkan di Indonesia tidak semua harus bergelar master.

Berbicara tentang Indonesia yang tadinya negara berkembang menjadi negara maju itu yang pasti gak bisa lepas dari aspek yang namanya aspek Pendidikan. Karena bagaimana pun juga Pendidikan itulah yang akhirnya membentuk pola pikir sumber daya manusianya. Kalau pendidikannya sudah berantakan itu pasti kemana-mana akan berantakan juga. Tapi ironisnya berdasarkan riset dari Pisa. Pisa itu semacam program penilaian internasional yang menguji kemampuan anak-anak sekolah yang sekitar umur 15-san dan itu menunjukkan bahwa Indonesia ada di peringkat ke 70 dari 90 sekian negara. Untuk sebuah negara besar itu terus terang hasil yang cukup memalukan. Tapi pertanyaannya bagaimana sebenarnya akar permasalahannya?. Kalau kita berkaca dari negara dengan sistem Pendidikan terbaik di dunia yaitu Finlandia, ternyata sistem pendidikannya tidak berbeda jauh dengan Indonesia. Disana yang namanya persaingan itu tidak penting "saya harus jauh lebih bagus dari lu, gua harus dapet ranking satu" tidak, disitu tidak penting. Guru-guru disana juga sangat berkompeten makanya dibayarnya tinggi bahkan disana minimalnya itu S2 untuk menjadi tenaga pendidik (guru).

Pernah dimarahin guru karena tidak bisa pelajaran matematika karena memang susah menangkap (memahami) materinya. Kalau misalkan kepintaran itu dilihat dari nilai matematika, jadi kalaupun nilai mata pelajaran lainnya bagus tapi kalua nilai matematikanya jelek itu akan dianggap "tidak pintar" dan itu faktanya. Memang ironis kenapa semua orang harus dipaksa bisa matematika in fact semua orang tidak ada yang sama. Ada yang pintar di ipa dan tidak bisa matematika, ada yang pintar di sejarah daya ingatnya bagus tapi tidak pintar hitung-hitungan. Dan ada juga yang pintar dalam hal kesenian, seni vocal, seni tari, seni musik tapi dia tidak bisa matematika. Kenapa cuma matematika yang di jadikan sebagai standar kepintaran, itu yang ironis dan tidak tahu kenapa.

Kalau boleh jujur saya risih dengan peraturan rambut laki-laki harus pendek 3 mm. padahal rambut tidak mempengaruhi hal apapun. Dan saya setuju sekali dengan pernyataan ini dan ini yang saya rasakan juga. Sebenarnya peraturan untuk rambut pendek itu  manfaatnya apa? dalam artian apa pengaruh rambut pendek dengan kita sebagai pelajar. Ada yang bilang mengganggu proses pembelajaran, ada yang bilang kalau nanti keluar kita tidak kelihatan seperti anak sekolah tapi seperti anak berandalan. Dan ini sebenarnya menurut saya alasan yang tidak masuk akal, karena kalau semisalkan mengganggu pembelajaran dimana mengganggunya? Apakah karena misalkan kalau poninya panjang lalu di naik-naikin terus itu menggangu? Saya rasa tidak, dan kalau misalkan keluar rambut panjang terus ada orang bilang "ini anak sekolah kok gini kaya anak berandalan" menurut saya tidak justru kalau misalkan kita lihat di sekolah, rambut panjang tidak boleh untuk laki-laki kalau rambut botak (gundul) malah diperbolehkan. Justru yang rambut botak ya katakanlah satu sekolah botak terus keluar dilihat orang apakah orang ini akan di akui anak sekolahnya rajin-rajin, rapih-rapih, tidak!. Bakal dikiranya ini stress atau apa ya rambut botak semua. Tapi yaudah ya namanya juga peraturan sekolah tidak mungkin kita bisa nego juga jadi mau tidak mau harus dilakukan. Tapi menurut saya masalahnya itu bukan disitu, Bapak Ibu tahu tidak ketika Bapak Ibu mengatakan razia terus Bapak Ibu guru mengumumkannya mendadak. Jadi dicari siapa saja yang datang-datang ke kelas, siapa yang rambutnya panjang tiba-tiba Bapak Ibu menggunting langsung potong. Bapak Ibu tahu tidak kalau itu bisa membuat beban mental bagi anak? Mungkin anda kira waktu anda potong, anda cuma bicara sambil senyum-senyum "makanya ini potong dong kan udah ada peraturannya" mungkin anak murid akan menjawab "hmm iya Bu Pak saya lupa potong , gini.. gini.. gini.. (alasan) ". Tapi anda tahu mungkin anda di sekolah melihat mereka itu senang-senang tetapi, mereka sampai rumah bisa menangis berhari-hari bahkan mungkin mendem dikamar tidak mau keluar, kalian itu menyerang psikologis mereka. Mungkin Bapak Ibu kira "kami tidak apa-apa kami tidak menyerang fisik anak itu, motong rambut emang nyakitin? Enggakkan?". Kepada guru-guru disekolah kalau boleh jujur sebagai hukumannya saya lebih baik di beri hukuman fisik dari pada harus rambut saya dipotong. Kalau hukuman fisik itu yang sakit fisik saya Bu Pak, kalau rambut saya di potong itu yang kena mental saya dan rasanya itu traumamya tidak bisa hilang dalam berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Iya jikalau sekolahnya mau mengeluarkan modal membawa tukang salon untuk merapihkan rambut anak-anak disekolah, ini sudah Bapak Ibu yang potong tidak punya skill, motongnya amburadul, acak-acakan,yang pinggirnya di cepak, poninya dihabiskan, itu nyakitin Bapak Ibu, mental kita itu tersakiti. Ingat tugas guru itu membangun mental bukan menghancurkan mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun