Gossip atau isu yang dapat menjatuhkan lawan biasanya berupa kebencian yang ditujukan agar lawan tidak mendapatkan dukungan. Media massa menjadi tempat paling berpengaruh dalam munculnya ujaran kebencian dan juga kampanye hitam yang terjadi di pilpres 2019.
Karena dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa “Pemberitaan kampanye pemilu dilakukan oleh media massa cetal, media daring, media sosial, dan lembaga penyiaran dengan siaran langsung atau siaran tunda.” Dengan adanya pemberitaan kampanye masyarakat menjadi semakin mengerti tentang visi dan misi setiap calon presiden.
Akan tepapi, negatifnya menimbulkan terciptanya berita bohong dan ujaran kebencian yang tersebar di video ataupun tulisan yang menjelekkan para calon pemimpin dan kebenaran belum terbukti baik secara teknis maupun secara hokum.
Dampaknya bagi masyarakat yaitu menjadi seperti dilemma untuk menentukan siapa pemimpin yang pantas untuk memimpin negeri ini dan tidak sedikit pula masyarakat yang ikut serta dalam penyebaran ujaran kebencian dan membuat suasana pemilu semakin tercemari.
Hukum islam dan hukum positif juga memandang sama mengenai kampanye hitam dan ujaran kebencian di dalam politik keduanya menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang tercela serta hukum islam dan hukum positif ini juga melarang keras adanya aksi atau tindakan menjatuhkan lawan dengan memberikan berita yang tidak benar, di dalam sebuah kampanye.
Sangat disayangkan negara kita yang mayoritasnya Islam masih menerapkan cara curang seperti ini. Anggota Dewa Syura IkatanDa”I Indonesia (IKADI), Ust. DR. Khairan M. Arif., MA menjelaskan dalam Islam kampanye hitam hukumnya adalah haram, saat bertemu ROL Jum”at (6/6) di Jakarta.
Menurut Islam sangat menganjurkan dan mengajarkan cara yang fair. Dalam Islam juga menjadi agama yang paling keras mengajarkan nilai kejujurn. Menurut Khairan, kehadiran black campaign sendiri karena sistem demokrasi di Indonesia yang memicu hal tersebut.
Sedangkan kebencian dalam Islam dapat diartikan sebagai fitnah. Kata Fitnah berasal dari Bahasa arab, asal katanya adalah fatana dalam bentuk fi”il yang artinya cobaan dan ujian. Ibrahim Al-Abyari dalam Al-Mu”jam Al-Qur”ani menerangkan bahwa, fitnah berarti menguji dengan api, cobaan, kegelisahan, dan kekacauan pikiran, azab, dan kesesatan.
Abdul Hay Al-Farmawi yang merupakan seorang guru besar tafsir Universitas Al-Azhar menjelaskan bahwa asal kata fitnah adalah memasukan emas ke dalam api untuk memisahkan yang asli dari yang palsu. Maka fitnah adalah sebuah proses pembakaran dengan api.
Sedangkan, menurut pasal 28 ayat 2 UU ITE menyatakan bahwa “ Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Pasal 45 ayat 2 UU ITE menyatakan bahwa “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 tahun dana tau paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”