Saya bukan ingin memberikan penilaian tentang baik atau buruknya proses PILKADA. Saya juga tidak akan membuat tulisan layaknya seorang ahli dengan landasan-landasan teori, karena jujur saja saya tidak bisa. saya ini cuma orang biasa, yang tidak begitu tahu apa itu polatak - politik segala, tidak begitu mengerti apa itu Demokrasi yang hanya bisa saya dengar dari obrolannya orang-orang pinter di Kampung saya. Saya hanya ingin menuliskan pendapat saya sendiri tentang sebuah peristiwa yang merupakan pengalaman pribadi, tidak bermaksud untuk menjustisfikasi.
Peristiwanya begini :
Suatu hari, saat sedang jalan-jalan di kampung, saya melihat ada banyak orang yang berkumpul di Mesjid kampung( Di kampung saya, agak langka kejadian ada banyak orang yang kumpul di mesjid. Kecuali kalau lagi Lebaran, atau ada kematian, biasanya mesjid selalu sepi, yang sholat wajib hanya 1-2 orang saja) maka saya jadi heran, ini agak tidak biasa apakah orang-orang kampung sudah pada tobat semua? . Melihat keramaian itu, saya merasa tertarik untuk ikut bergabung. Saya bertanya pada Pak su Malik yang merupakan tetangga depan rumah.
Saya " Pak Su, ada apa ya? kok banyak orang2 yang pada kumpul disini?"
Pak Su " Wah! kamu ini ketinggalan berita, hari ini ada calon Bupati yang berkunjung ke Kampung kita"
Saya " Ohh! calon Bupati itu mau ngapain memangnya Pak Su?"
Pak su" Ya ampun! Ya mau kampanyelah, selain itu beliau juga mau nyumbang buat pembangunan mesjid kita" tambahnya sambil berbisik" mendingan kamu ikut, infonya beliau juga mau bagi2 amplop"
Saya" Beneran Pak Su? wah! boleh juga kalau begitu".
Dan saya pun ikut bergabung. Tidak lama, datanglah rombongan mobil bagus-bagus dan mengkilat yang jarang masuk ke kampung saya, ternyata mereka rombongan calon Bupati yang di tunggu-tunggu. Masuklah kedalam mesjid seorang laki-laki yang masih cukup muda, dengan stelan baju koko yang berbahan bagus dan di lengkapi dengan peci hitam, kulitnya bersih, sembari menebar senyum beliau menyalami kami satu persatu. Lama beliau berpidato di depan kami, meskipun banyak omongannya yang saya tidak mengerti artinya tapi saya tetap terkagum-kagum, bersama orang-orang kampung yang lain, sayapun selalu mengangguk-anggukkan kepala setiap beliau bicara.
" Saudara-saudaraku, berilah kesempatan kepada saya untuk memimpin saudara-saudara membangun Kabupaten kita ini, mari kita satukan visi, rapatkan barisan untuk kemajuan kabupaten kita tercinta. Dengan usaha bersama, Kita pasti sejahtera ". Demikianlah kalau saya tidak salah akhir dari pidato beliau. Setelah selesai, beberapa orang membagi-bagikan amplop pada kami.
Sembari berjalan pulang, saya masih terus terkenang dengan calon bupati tadi, saya yakin dia pasti orang pinter, buktinya banyak tadi omongannya yang tidak saya mengerti, kalau tidak salah dia juga lulusan luar negeri. Saya terus berjalan sambil bersiul-siul, tadi saya buka amplopnya dan ada duit 50 ribu, lumayanlah buat beli rokok.
" Darimana kamu, kayaknya senang sekali" terdengar suara orang menegur saya dari samping. Ternyata yang menegur saya tadi Nyai Puji, rupanya beliau baru pulang dari mencari kayu bakar di hutan. Nyai Puji adalah seorang Janda, umurnya sekitar 70 tahun lebih. Beliau hanya tinggal sendiri di rumahnya yang berukuran mungil dan berdinding bambu. Konon, saat suaminya meninggal dulu, mereka belum sempat di karuniai anak. Kata Bapak saya, Suaminya meninggal karena Sakit, tidak punya uang untuk berobat, warga di kampung kamipun tidak dapat membantu banyak, kehidupan warga disini tidak jauh beda dengan kondisi Nyai Puji dan suami. Mayoritas mata pencariannya adalah buruh dan petani tradisional (Untuk jadi petani modern, harus butuh modal) yang hasilnya hanya bisa (dengan agak sedikit dipaksakan terpenuhi) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. karena tidak mendapatkan perawatan yang maksimal, sakitnyapun semakin parah dan akhirnya beliaupun meninggal dunia. Setelah suaminya meninggal, Nyai Puji hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil mengumpulkan kayu bakar di hutan. Untuk bekerja menjadi buruh, beliau sudah tidak kuat lagi. Itulah sekilas gambaran tentang Nyai Puji, Janda tua mandiri di Kampung kami.
"Dari kumpulan di mesjid Nyai" Jawabku" Nyanyi kok gak ikut? " Tanyaku.
" Memangnya ada kumpulan apa?" Nyai Puji malah balik nanya.
" Tadi ada calon Bupati dateng, Tahu tidak Nyai? Orangnya pinter lo nyai, tadi beliau bilang bahwa jika beliau jadi bupati maka beliau akan membuat kehidupan kita sejahtera di masa yang akan datang. tadi juga kami di kasih duit 50 ribu per orang. Coba Nyai tadi ikut." jawabku.
" Sejahtera apa? kapan? Paling2 nanti juga sudah lupa sama omongannya sendiri. Kalau bukan karena mau nyalon bupati, mana mau dia datang ke kampung kita ini, karena ada maunya saja. Begitu juga nanti kalau sudah jadi Bupati, mana inget dia sama kampung kita". Jawab Nyai Puji sembari tersenyum pahit, sepahit kehidupan yang di jalaninya selama ini.
" Tapi dia itu orang pinter lo Nyai, Masak dia bohong?" Belaku, merasa tidak enak karena sudah dapat amplop.
" Iyo Pinter! Pinter ngeminterin orang-orang bodoh kayak kita ini". Sentak Nyai Puji, sembari masuk ke rumahnya.
Akupun melanjutkan langkah menuju rumahku, aku sedikit bingung mengingat obrolan dengan Nyai Puji. Apa iya, Beliau yang ramah dan tampak pinter tadi itu cuma mau minterin kami saja? seperti kata nyai Puji tadi?. Masak sih? sudahlah pikirku, yang penting sudah dapat duit rokok.
Memang akhir-akhir ini, kampung kami cukup semarak, dimanana-mana di pajang foto-foto artis yang konon akan bersaing menjadi Raja kami yang baru. Di warung-warung dan di pos rondapun saya sering mendengarkan para tetangga membicarakan itu. Bahkan konon kabarnya, di kampung sebelah, ada tetangga yang ribut gara-gara saling memaksakan untuk mendukung Calon Raja masing-masing. Di Tivipun saya sering melihat orang pinter yang menyatakan bahwa saat ini di seantero negeri sedang di sibukkan oleh Pesta Rakyat, Pesta Demokrasi katanya. Setiap orang berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi Raja-raja baru. Kabarnya syaratnya sederhana, cukup bermodalkan perahu atau sumbangan KTP , kita sudah bisa menjadi salah satu calon raja. Meskipun saya agak sedikit bingung, kabarnya banyak yang tidak kebagian perahu, apa memang diluar sana Kayu sudah pada habis? kenapa mereka tidak kekampungku saja, masih banyak kayu kok disini, bambu juga masih banyak, kalau kayu habis, kan masih bisa buat rakit dari bambu? susah memang memahami pemikiran orang-orang pinter itu. Sudahlah, ribet saya memikirkannya.
Demikian sedikit kisah saya, yang coba saya ramu dengan sedikit tambahan bumbu-bumbu. Mohon ma'af jika bumbunya kurang pas, pokoknya di nikmati sajalah ya....heee
Maklum, sayakan cuma orang biasa yang tidak tahu apa-apa. Jadi! kalau tulisan saya tidak menarik, tidak sopan, tidak bikin orang pinter, Judulnya aneh, isinya jelek dan sebagainya. Dengan segala kerendahan hati, saya memohon ma'af !!
Salam Persaudaraan !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H