Mohon tunggu...
Yudi Febrianto
Yudi Febrianto Mohon Tunggu... -

saya orang biasa dari kalangan Rakyat Jelata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mak, Saya Mau Jadi Petani. Boleh? Jangan, Jadi Pns Saja

1 November 2013   06:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:45 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Good News! Melihat dan mempertimbangkan kian membludaknya pelamar tiap penerimaan CPNS yang makin menunjukkan besarnya jumlah pengangguran di negeri ini, maka tahun depan pemerintah berencana membuka lowongan untuk penerimaan Calon Petani dan Nelayan Indonesia (CPNI).

Persyaratan umum : Pria/Wanita Dewasa, WNI, usia 18-35 tahun,punya semangat juang,pekerja keras

Persyaratan khusus : menguasai bahasa gaul dengan fasih (?).

( Pengumuman Resmi Oleh Departemen Mimpi Negara) bisa juga diakses melalui website resmi kami www. Ngayal.com.

Kemarin siang , saya mengantarkan seorang teman ke Terminal Bus kota A. sahabatku ini, sebut saja N. Akan berangkat ke kabupaten X di propinsi Y untuk bertarung dengan ribuan ‘Pendekar’ lainnya demi memperebutkan posisi terbaik sebagai  PNS. Sahabatku ini kukenal begitu baik, bertahun2 dia berlatih olah kanuragan aliran Sosiologi yang kini nyaris sempurna dikuasainya. Semua itu ia lakukan demi saat ini. Dia rela dan sedikit nekad, meskipun harus bertarung mati2an menghadapi puluhan,ratusan bahkan ribuan petarung lain dengan cara membunuh mimpi2 mereka demi sebuah penghargaan NIP dan seragam PNS. Sudah tergambar dipikirannya, betapa kelak akan berbahagia keluarganya, ada pengakuan dari warga kampungnya, kenyamanan fasilitas ini itu, jaminan hari tua dan khususnya penghargaan dan pengakuan dari sang calon mertua yang tentunya dengan bangga akan menyerahkan putri tercinta mereka kepadanya “ Sang Pria yang ditanggung negara” , aduhai indahnya.

Dengan rasa haru yang mendalam, kutatap sahabatku. Lelah aku meyakinkan dia bahwa dari hitung-hitungan Matematika Dasar yang kuperoleh waktu SD. Peluangnya berhasil sangatlah kecil, hanya 1 per sepeluh, per seratus, per seribu bahkan bisa sampai juta-juta ribu ( Upin-Ipin berkata”banyaknyeee”). Tapi dengan tekad sekeras baja2 rel Monorel, Sahabatku berkata “ Kawan! Meski yang lolos hanya 2 diantara sejuta, maka 1 diantara 2 itu adalah aku”. Duhai Ibu Pertiwi , Betapa daku takkan terharu mendengar ini. Anak muda yang penuh semangat, penuh potensi. Jangan kecewakan dia Bunda, berikan pertandingan yang layak, dan FAIR!!!. Jangan lagi sajikan pertandingan-pertandingan seperti sebelumnya, yang lolos tidak mengandalkan kualitas sebenarnya. Tapi karena perak, emas dan bisikan-bisikan dari sana-situ. Dalam hati, aku pesimis hal tersebut takkan terulang. Kembali kutatap sahabatku, selamat bertarung pendekar, kembalilah dengan kejayaan.

Kisah diatas hampir terjadi di belahan nusantara manapun saat ini dengan kisah yang berbeda-beda. Ribuan anak muda negeri ini, yang penuh semangat dan potensi. Berbondong-bondong menyerbu Pemda-pemda dan Departemen demi sederet NIP, demi hal-hal  yang berbau dinas. Mobil dinas,rumah dinas, uang dinas, isteri dinas (ma’af,keterusan) dll. Mirisnya, jumlah pelamar dan formasi yang dibutuhkan sangatlah tidak berimbang. Satu fakta terlihat jelas, bukan cadangan sembako yang kita punya tapi ribuan bahkan jutaan Pengangguran Merana. Meskipun ada ribuan yang sudah diekspor keluar, ternyata tidak juga mengurangi secara signifikan stok yang ada didalam negeri. Mantap!.

Disini, otak awamku mulai mencoba berpikir dan membuat analisa-analisa tingkatan awam, ada beberapa hal menarik disini. Pertama,  Aku sebagai salah satu anak muda negeri, melihat bahwa ada satu standar disebagian besar masyarakat kita dalam menilai kesuksesan seseorang yakni dengan menjadi birokrat. Sukses itu digambarkan ketika suatu hari, kita turun dari mobil plat merah, dengan pakaian seragam,pangkat ditempel dimana2, baru selesai rapat di hotel mewah dan lusa akan berangkat ke Singapura untuk perjalanan dinas. Dan saat liburan tiba, sekeluarga liburan ke Eropa. Dan merekapun berbahagia. Sekian. Ya, itulah standar sukses. Seperti itulah cara pandang masyarakat  dikampungku. Siapa yang tahu itu hasil korupsi atau bukan, kecuali lagi apes terus ditangkap sama KPK. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kondisi ini jadi terbalik. Pelayan jadi majikan, dan sebaliknya. PNS, Polisi, anggota dewan, atau pegawai dan pejabat di instansi manapun bukankah mereka semua Pelayan Masyarakat. Bukankah rakyat yang membentuk itu semua, Pemerintahan beserta struktur-strukturnya, rakyat pula yang menggaji mereka. Mereka diberi pekerjaan untuk menjalankan organisasi negara ini demi melayani kehendak Rakyat. Ada mental yang salah disini, mental birokrat kata sumber awamku. Konon,  diwariskan sejak zaman kolonial dulu. Yang tidak terkikis oleh energi Kemerdekaan 1945.

Kedua, efek dari mental itu masih terus terasa hingga di zamanku sekarang. Bahkan, didalam otak kamipun sudah dijejalkan impian dan cita2 untuk menjadi orang pemerintah. Dikampungku, yang mayoritas petani. Setiap orang tua mengantarkan anaknya untuk sekolah, tujuannya agar kelak jadi orang pinter dan jadi Pegawai Pemerintah. Saya ingat waktu SD, saat ditanya tentang cita-cita. Hampir seragam, jadi orang berseragam. Polisi,camat,tentara, dll. Tidak ada yang bercita-cita jadi petani atau nelayan. Bahkan mereka yang pekerjaannya petani dan nelayanpun tidak ingin anak-anaknya seperti mereka. Bahkan diera sistem perekrutan yang carut-marut dulu (sekarang gak lagi,KATANYA!) ada yang rela menjual lahannya untuk ‘Nyogok’ agar anaknya jadi PNS atau Polisi misalnya. Tak ada kebanggaan sebagai Nelayan atau Petani. Padahal, kita semua tahu bahwa jika Petani tidak ada, Matilah kita. Kan bisa impor?, ya kalau ada yang mau jual kekita. Kalau mereka juga susah, makan mereka sendiri saja tidak cukup. Kalau sudah begitu, makan saja tuh seragam, duit kertas dan logam, barang-barang  dinas dan sebagainya.

Nusantara begini luas, dengan ribuan bahkan mungkin jutaan hektar lahannya, lebih luas lagi lautan kita. Ke 2 potensi itu adalah anugerah terbesar dari Tuhan untuk kita. Mari kita maksimalkan itu. Sebagai anak bangsa, saya tidak merasa bangga ketika bangsa ini menjadi salah satu negara pengekspor hasil tambang seperti minyak bumi, batubara, dll. Semua itu akan habis, tidak akan menjamin keberlangsungan negeri ini. Saya lebih bangga jika kita menjadi pengekspor kekayaan laut dan hasil-hasil  pertanian, lebih bangga jika negeri ini dikenal sebagai negeri para petani dan nelayan. Itu menunjukkan bahwa negara lain dapat hidup atas bantuan kita. Tanpa petani, kita tidak makan, tanpa makan, kita mati. Tanpa polisi,PNS,Presiden dan menteri-menterinya, tanpa DPR, kita masih bisa hidup.

Tapi anehnya kehidupan Petani dan Nelayan dinegeri ini sebagian besar dalam kondisi yang tidak semestinya, mestinya mereka menjadi sangat makmur disini. Itulah salah satu faktor, yang menyebabkan anak-anak muda seperti saya tidak berminat menjadi petani atau nelayan. Lebih memilih menjadi PNS. Hilang pula kesempatan kita memaksimalkan potensi sumber daya manusia kita yang berlimpah, potensi laut dan lahan kita terbengkalai. Yang ada, pengangguran kian menumpuk, kejahatan meningkat, kemiskinan merajalela, ekonomi negara carut-marut. Hasilnya, cita-cita bangsa untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang adil dan makmur, tinggal mimpi disiang bolong.

Menurut otak awam saya, sudah saatnya kita merubah cara berpikir dan mental yang salah itu. Sudah waktunya bagi kita, untuk memberikan penghargaan yang setingggi-tingginya kepada para nelayan dan petani kita. Penghargaan atas profesi mereka, atas kerja keras mereka. Kenapa tidak, pemerintah mengurangi acara naik gaji buat dewan-dewan kami yang terhormat,para PNS dll. Kenapa tidak kita alokasikan untuk memberi insentif bagi para petani dan nelayan kita. Bila perlu, berikan dana pensiun buat mereka. Kenapa tidak, bukan hanya PNS, Polisi atau Tentara yang mengabdi buat negara. Terlebih lagi mereka para petani, sepanjang hidupnya diabdikan untuk membuat perut semua orang kenyang. Yang ironisnya, perut mereka sendiri kurus.

Hingga akan tiba masanya, dimana kesuksesan itu tidak hanya dinilai ketika seseorang turun dari mobil dinas,masuk kerumah dinas setelah perjalanan dinas. Tapi juga dari kemampuan seorang petani memaksimalkan potensi lahannya dan para nelayan yang memaksimalkan potensi laut kita. Sehingga, saat liburan tiba,tidak hanya mereka yang bekerja di pemerintahan atau kantoran saja,keluarga petani dan nelayanpun mampu untuk berlibur kemanapun mereka suka. Karena, mereka sangat layak untuk itu. Maka, tak akan terulang lagi antrian panjang bak naga saat perekrutan CPNS. Tak ada lagi ribuan pengangguran malang, menurunlah tingkat kejahatan, karena semua orang punya penghasilan. Makmurlah negeri ini. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun