Mohon tunggu...
Yudi Rahmatullah
Yudi Rahmatullah Mohon Tunggu... Freelancer - Travel Writer

Reading for writing, Traveling for sharing

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

10 Anak Luar Biasa dari Belitung

9 Mei 2020   23:34 Diperbarui: 9 Mei 2020   23:27 1820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mungkin termasuk orang yang suka deg-degan, kalau ada sebuah novel favorit saya yang akan di-film-kan.

Bukan karena saya mempunyai andil dalam pembuatan novel tersebut, tetapi karena saya takut jika film yang diangkat dari sebuah novel tidak sesuai dengan harapan saya. Tidak sesuai di sini dalam arti, apakah di saat saya menontonnya akan seseru dan semenarik ketika saya membacanya? Takutnya juga, ada cerita di novel yang menurut saya penting untuk di tampilkan di film malah tidak diceritakan. Akhirnya, malah mengurangi keseruan dari alur ceritanya.

Ketika saya membaca sebuah novel, sepertinya saya bisa bebas menentukan imajinasi apa yang sesuai dengan cerita yang sedang saya baca. Bagian cerita sedihnya, senangnya, ketika ada konflik antara si karakter, dan juga situasinya. Saya juga bebas menentukan gambaran apa yang kira-kira sedang terjadi di dalam novel tersebut. Seperti apa wajah setiap karakter, mimik mukanya ketika marah, sedih, dan senang, dan juga bebas menentukan gambaran lingkungan di setiap plot.

Jika sudah diangkat ke layar lebar, berarti saya harus mengikuti alur cerita yang dibuat oleh si sutradara. Harus mengikuti gambaran dan imajinasi-nya berdasarkan apa yang ia mau. Memang seorang sutradara tidak akan sembarangan membuat film, apalagi jika diangkat dari novel best seller. Tetapi, ia juga harus mewakili imajinasi dan gambaran dari orang-orang yang telah membaca novelnya.

Seperti ketika novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang diangkat ke dalam sebuah film dan disutradarai oleh Riri Riza. 

Film Laskar Pelangi ini menceritakan  tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah di sebuah sekolah Muhammadiyah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan. Mereka adalah, Ikal, A kiong, Lintang, Kucai, Syahdan, Mahar, Trapani, Harun, Sahara, dan Borek. 

10 Anak Laskar Pelangi, Flo, dan Bu Mus, sumber:idntimes.com
10 Anak Laskar Pelangi, Flo, dan Bu Mus, sumber:idntimes.com

Film ini memang bercerita tentang dunia pendidikan, bagaimana mereka harus bersekolah di antara keterbatasan biaya dan kehidupan keluarga yang serba kekurangan. 

Bagaimana mereka harus  terus belajar dengan giat dan berusaha bersekolah sampai lulus. Tapi, didalamnya terselip juga cerita solidaritas yang patut kita contoh, terutama untuk anak-anak sekolah. 

Solidaritas yang tinggi antar sesama teman. Mereka selalu kompak, dan apapun yang akan mereka lakukan selalu dirundingkan bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun