Mohon tunggu...
Yudi Rahmatullah
Yudi Rahmatullah Mohon Tunggu... Freelancer - Travel Writer

Reading for writing, Traveling for sharing

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jalan Legian: Sunyi Saat Pagi, Meriah Menjelang Malam

12 April 2020   21:18 Diperbarui: 14 April 2020   00:19 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, seperti yang saya bilang di backpacker story saya sebelumnya bahwa saya tiba di Bali, tepatnya di Jalan Legian pada malam hari, sekitar pukul  8 WITA. 

Dari Tugu Peringatan Bom Bali, saya menuju penginapan yang sebelumnya sudah saya cek harga dan lokasinya di google. Dan, di google map, jarak antara tugu dan penginapan-nya hanya sekitar 8 menit dengan berjalan kaki.

Tapi, setelah saya mulai berjalan, ternyata tidak semudah itu, tidak sedekat itu juga. Karena ada banyak wisatawan, baik domestik dan mancanegara yang berlalu lalang di sisi kiri dan kanan Jalan Legian. Di tengah, jalanan padat merayap dengan berbagai jenis kendaraan. Jadi, untuk pindah-pindah jalur pun menurut saya tidak aman.

Memang, di sepanjang jalan ini tersedia banyak kafe, bar, dan resto. Belum lagi, yang di gang-gang menuju Pantai Kuta. Banyak pilihan.  Dari tempatnya yang simple, bergaya anak muda sampai yang cozy dan instagrammable.

Note:

  1. Seperti yang Lost LeBlanc bilang di youtube-nya bahwa: Kuta is the place that most backpackers will stay and one of the craziest place for a nightlife.
  2. Jadi gak salah kalau saya yang seorang backpacker ini memilih tujuan pertama saya adalah Legian (atau Kuta). Dan, supaya saya dapat merasakan meriahnya suatu tempat wisata pada malam hari di Bali, makanya saya memilih stay di legian.  

Akhirnya langkah saya banyak terhenti karena harus menunggu giliran lewat. Banyak diantara wisatawan yang sebelum masuk tempat-tempat makan dan nongkrong itu butuh berhenti sejenak untuk melihat-lihat menu dan keadaan di dalam. 

Belum lagi, ada saja pengendara motor yang menggunakan trotoar. Cukup membahayakan para pejalan, apalagi mereka kadang tiba-tiba muncul dari belakang atau keluar dari gang. 

Saya juga harus memiringkan sedikit kepala saya dan menutup telinga setiap kali melewati tempat-tempat makan tersebut. Tujuannya agar suara musik yang diputar dari dalam yang terdengar sampai keluar gak terlalu memekakkan telinga. Parah!

Suasaa saat Malam di Legian, dok. pribadi
Suasaa saat Malam di Legian, dok. pribadi
Sampai juga saya di jalan masuk penginapan-nya, Maha Bharata Kuta Inn. Saya check in untuk satu malam, karena rencananya besok akan pindah lagi ke penginapan lain yang mungkin lebih adem. Awal nginep di sini, ya karena lokasinya dekat dengan lokasi saya turun dari ojek. Repot kalau harus cari-cari lagi ke tempat yang agak jauh.

Saya buka pintu kamar. Suara musik masih terdengar. Saya buka pintu menuju balkon. Malah lebih jelas. Saya kencing di kamar mandi dan menutup pintunya saja, suara jedag jedug bass masih bisa dirasa oleh jantung. Luar biasa!

Besok paginya, pas buka pintu balkon. Wah.. ternyata pemandangan yang semalam tidak terlihat, pagi ini jelas terlihat.  Dedaunan hijau, langit biru cerah, rumah-rumah masyarakat di sekililing penginapan terlihat jelas (dan banyak juga), dan udara yang segar.

Sejenak, saya berpikir, apa saya masih di Jalan Legian Bali? Takutnya ada kekuatan Supranatural yang memindahkan saya ke perbukitan ketika saya tidur. Tapi memang benar. Ini kamar dan balkon yang saya lihat semalam. Gak pindah kemana-mana.

Saya duduk-duduk di balkon. Suasana sekitar Jalan Legian terdengar  sunyi. Hanya terdengar suara burung dan induk ayam yang memanggil-manggil anak-anaknya untuk makan. Oh my… Baliku, The Island of God.

Suasana Pagi di Balkon Penginapan, dok. pribadi
Suasana Pagi di Balkon Penginapan, dok. pribadi
Begitu keluar dari halaman penginapan menuju Jalan Legian. Lho, kok seperti bukan jalan yang saya lalui semalam. Sepi. Gak ada suara musik, kendaraan cukup lengang, dan tidak ada wisatawan yang berhimpitan untuk jalan di trotoar. Ternyata jalan ini di pagi hari sangat sunyi, seperti tidak terjadi huru-hara pada malam harinya. 

Padahal hanya kurang dari dua belas jam saja, keadaan di jalan ini ternyata bisa berubah 180 derajat. Saya berfoto di sebuah pura di Jalan Legian yang tampak bersih dan sunyi.

Saya menikmati jalan-jalan pagi di sepanjang jalan ini. Tidak harus menutup kuping atau memiringkan kepala. Tempat-tempat makan sebagian ada yang buka. Mungkin untuk menyajikan menu sarapan. Tapi walaupun mereka buka, suara musik tidak terdengar berisik. Hanya terdengar satu atau dua ucapan dari beberapa pelayan yang menyilakan masuk dan menawarkan menu sarapan.

Luar biasa. Jalan Legian ini. Sunyi senyap saat pagi hari, tapi  meriah dan gemerlap saat menjelang malam. Apalagi, ditambah jeritan-jeritan dari orang-orang yang naik wahana sling shot 5GX. Kalau gak terlalu ngeh sama wahana itu, mungkin semalam saya terkaget-kaget begitu mendengar suara orang menjerit-jerit. 

Importance note:

  1. Plus minus suatu tempat wisata pasti ada. Kalau banyak plusnya, yah soal minus yang cuma secuil lupakan saja. 
  2. Gak akan rugi untuk merasakan secuil minus di suatu tempat wisata yang mungkin jarang kamu datangi setiap harinya.
  3. Backpacker story ini adalah pengalaman travel saya sewaktu Corona Covid-19 belum merebak di Indonesia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun