Mohon tunggu...
Yudi Permana
Yudi Permana Mohon Tunggu... Guru - Penggerak Pendidikan

Praktisi Pendidikan di Kabupaten Garut

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Selayang Pandang Perjalanan Guru Penggerak: Dari Pemikiran Ki Hadjar Dewantara hingga Pengambilan Keputusan

8 April 2021   17:03 Diperbarui: 8 April 2021   17:21 2383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Pendahuluan

Menuntun dan mengantarkan peserta didik merupakan tugas utama seorang pemimpin pembelajaran sekaligus tugas  mulia seorang pendidik. Untuk menuntun dan mengantarkan peserta didik melejitkan potensinya, maka seorang pemimpin pembelajaran perlu menguasai filosofi pendikan yang digaungkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara tersirat bahwa seorang pendidik harus mampu menuntun potensi peserta didik sesuai kodratnya. Seorang pendidik harus berpihak kepada kebutuhan murid, memahami nilai dan peran pendidik, mampu menyusun visi yang berpihak kepada murid dan melakukan praktik pembelajaran yang memungkinkan adanya diferensiasi serta pengelolaan social emosional yang efektif. Akhirnya, berbagai bimbingan seperti coaching dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab diharapkan ke depan dapat dilakukan dalam rangka upaya memerdekakan murid.

B. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan salah satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa "pemeliharaan" akan tetapi juga dengan maksud "memajukan" serta "memperkembangkan" kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan (Dewantara, 2011: 344). Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan bangsa sendiri mulai dari Taman Indria, anak-anak diajarkan membuat pekerjaan tangan, misalnya: topi (makuto), wayang, bungkus ketupat, atau barang-barang hiasan dengan bahan dari rumput atau lidi, bunga dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar anak jangan sampai hidup terpisah dengan masyarakatnya (Dewantara, 2011: 276).

Sementara, metode permainan yang masih terdapat di desa-desa dimaksudkan untuk melatih ketangkasan, melihat, mendengar dan bertindak sebagai latihan panca indera. Banyak permainan anak-anak yang berupa tarian, sandiwara-sandiwara yang amat sederhana, tetapi cukup mengandung bahan-bahan untuk pendidikan, misalnya seni suara, tari dan drama. Drama dari cerita-cerita rakyat seperti Timun Emas, Bawang Putih, Jaka Kendil maupun cerita-cerita Wayang Purwa. Untuk anak-anak yang sudah besar, misalnya Taman Dewasa atau Sekolah Menengah Pertama dan Taman Madya atau Sekolah Menengah Atas, akan diberikan pelajaran olah gending. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan.

Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dibandingkan dengan filsafat pendidikan esensialisme sangat mirip, karena esensialisme berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Kebudayaan yang diwariskan merupakan kebudayaan yang telah teruji oleh segala jaman, kondisi dan sejarah (Noor Syam, 1983: 260).

Nilai-nilai kebudayaan bukanlah nilai-nilai yang statis tetapi juga mengalami kemajuan. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk "Trikon", yaitu: kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri. Artinya, secara kontinyu kebudayaan harus diestafetkan atau diberikan kepada generasi penerus secara terus-menerus. Kemudian konvergen dengan budaya luar. Artinya, penerima nilai-nilai budaya dari luar dengan selektif dan adaptif dan akhirnya bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang maju tetapi tetap berkepribadian Indonesia (Dewantara, 1994: 371). Nilai-nilai budaya yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan adalah nilai budaya yang ada sejak beliau dilahirkan, yaitu pada masa Adipati Paku Alam III tahun 1889, jadi nilai-nilai budaya sekitar abad ke-18 dan 19. Sedang filsafat pendidikan esensialisme didasarkan pada jaman Renaisans yang muncul sekitar abad ke-15 dan 16.

C. Pengaruh Nilai terhadap Pengambilan Keputusan

Sementara itu, nilai-nilai dan peran guru dalam membangun budaya belajar di sekolah dan sebagai satu-kesatuan upaya menumbuhkan murid merdeka adalah nilai kemandirian. Mandiri berarti bebas dari ketergantungan terhadap orang lain, mampu mengatur tingkah laku secara pribadi, mampu mengambil keputusan dan berani bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan.

Contoh kongkret : Pada saat tertentu, dihadapkan pada suatu kasus ada anak yang berkelahi. Sementara kepala sekolah sedang rapat, dan beberapa guru sedang ada kegiatan yang bersifat kedinasan. Maka sebagai guru yang mempunyai nilai kemandirian maka secara langsung mengambil suatu tindakan atau keputusan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Langkah penyelesaiannya pertama mencari penyebab dari perkelahian tersebut. Setelah diketahui penyebabnya maka diambil tindakan untuk langkah selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun