Mohon tunggu...
Wahyudi
Wahyudi Mohon Tunggu... Dosen - Tentang Saya

Dosen Ekonomi Internasional dan Manajemen Bank Syariah STIE Widya Praja, Tana Paser, Kalimantan Timur wahyudiwidyapraja.simplesite.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengenal Bank Syariah (Bagian 2: Pembiayaan jual beli Murabahah)

28 Februari 2018   08:12 Diperbarui: 28 Februari 2018   08:57 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Produk pembiayaan jual beli pada Bank Syariah terbagi menjadi tiga: Murabahah, Istisna' dan salam. Mari kita bahas satu persatu

Murabahah pada prakteknya di Bank Syariah sejatinya adalah pembiayaan yang bersifat konsumtif. Contohnya yang sudah saya bahas pada tulisan saya sebelumnya yaitu pembiayaan perumahan (KPR Syariah), pembiayaan kendaraan (motor dan mobil) dan jenis pembiayaan lainnya yang bersifat konsumtif. 

Maksudnya pembiayaan yang bersifat konsumtif adalah nasabah yang diberikan amanah pembiayaan tersebut hanya boleh menggunakan dana tersebut dalam bentuk barang yang dapat memenuhi kebutuhan nasabah. Jika pembiayaan rumah maka bank memberikan pinjaman dana pada nasabah Bank Syariah untuk membeli rumah yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal. Namun tentunya ada kemudahan nasabah tadi membeli pada Bank Syariah dengan sistem cicilan.

Pada pembahasan sebelumnya, saya mencontohkan pembiayaan rumah (KPR Syariah) dengan mengambil margin atau keuntungan dari hasil penjualan rumah dengan konsep yang sama seperti Bank Konvensional menetapkan marginuntuk Bank Syariah pertahun 10% dan jika di Bank Konvensional menetapkan bunga 10% pertahun. Jika menilik keduanya, tak ada perbedaan yang mencolok bahkan bisa dikatakan sama hanya pada letak perbedaan istilah saja. 

Namun jika kita telaah lagi, pada Bank Konvensional yang menetapkan bunga jelas melanggar syariat Islam karena mengandung riba. Sedangkan Bank Syariah karena ini konsepnya seperti dagang atau jual beli, anggapan mereka sah-sah saja menetapkan margindari hasil penjualan rumah karena akad yang digunakan atau terlaksananya ijab Kabulantara nasabah dan bank menggunakan akad jual beli.

Lalu kenapa masyarakat masih menganggap bahwa penetapan marginyang ditetapkan Bank Syariah sama saja dengan Bank Konvensional? Ya sah-sah saja karena tidak ada perbedaan diantara keduanya. Anggapan bahwa itu sama saja mengandung riba memang sudah tidak bisa terelakkan lagi. Padahal jika mereka paham saja dengan perbedaan antara bunga dan marginmungkin persepsi masyarakat bisa berubah. Karena bunga itu riba jelas haram hukumnya dan marginadalah keuntungan jual beli halal hukumnya.

Pada sisi lain saya akan coba menjelaskan hakikat marginitu sendiri yang diterapkan oleh Bank Syariah. Kenapa meniru konsep Bank Konvensional  sehingga tidak salah persepsi masyarakat yang menganggap itu bunga. Bank Syariah tentu ingin mengambil keuntungan yang cukup besar juga sehingga terlepas pada masalah "mencontek" sistem Bank Konvensional atau mengadaptasi sistem Bank Konvensional toh apabila ditawarkan ke masyarakat, masyarakat nanti pasti menerima sistem seperti itu karena bank dengan ada "embel-embel" syariah tentu membuat mereka "manut" saja karena setiap produk yang dikeluarkan oleh Bank Syariah. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil sudah saya tampilkan pada bagian 1. Dari perbedaan ini bisa kita lihat jelas perbedaan diantara keduanya dan agar tidak ada salah pemahaman oleh masyarakat tentang Bank Syariah itu sendiri.

Agar tidak penasaran, saya tampilkan kembali tabel perbedaan antara bunga dan bagi hasil:

Berikut saya ambil ilustrasi KPR pada Bank Syariah:

Jika diketahui harga rumah Rp 500.000.000. DP/ uang muka yang dikenakan 30% jadilah harga rumah tersebut Rp 350.000.000 karena 30% sudah dibayar. Diketahui jangka waktunya adalah 10 tahun dan diketahu juga margin yang ditetapkan oleh bank 5%/ tahun.

 Ingat ini pertahun, jadi dari 5% kita kalikan 10 tahun = 50%. Jadi harga rumahnya jadi berapa? Rp 350.000.000 + 50% = Rp 525.000.000. Margin yang diperoleh bank adalah sebesar Rp 175.000.000. Angsuran perbulan = Rp 525.000.000/120 bln= 4.375.000.000. Jadi konsep yang diambil oleh Bank syariah sama dengan konsep Bank Konvensional dalam penetapan angsuran untuk produk KPR. Margin yang diambil Bank Syariah 5% tapi pertahun. 

Bisa dibayangkan semakin lama jangka waktu yang diambil nasabah, maka marginnya sudah barang tentu semakin besar. Jika 10 tahun, marginnya menjadi 10 x 5% =50% dan apabila 20 tahun maka 20 x 5%=100%. Margin pertahun inilah yang dianggap oleh sebagian masyarakat ini adalah riba karena sama konsepnya dengan Bank Konvensional. Padahal Bank Syariah hanya mengambil keuntungan dari penjualan rumah tersebut. Konsepnya rumah dibeli oleh Bank Syariah lalu kewenangan bank untuk menjual kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga pokoknya. 

Namun pada prakteknya yang sering terjadi adalah Bank Syariah tidak murni sebagai penjual barang akan tetapi ada pihak ketiga yang menyediakan barang tersebut. Ketika ada transaksi pembelian rumah, barulah pihak bank berkoordinasi dengan pihak ketiga tersebut yakni developeruntuk memesan satu unit rumah. Harga pokok rumah juga tidak dicantumkan ke dalam tabel yang biasa diedarkan untuk informasi angsuran.

Jika KPR Syariah yang merupakan salah satu produk pembiayaan dari Bank Syariah dengan konsep jual beli murabahah,tidak salah jika diterapkan karena KPR termasuk pembiayaan yang bersifat konsumtif. Selain rumah juga bisa pembiayaan untuk pembelian kendaraan, barang elektronik dan lain sebagainya. Aplikasi murabahahini juga merambah ke pembiayaan modal kerja. 

Padahal jika modal kerja, ini harusnya masuk pada pembiayaan kerjasama seperti mudharabahdan musyarakah yangtermasuk dalam jenis pembiayaan yang sifatnya produktif.Insya Allah dalam kesempatan lain akan kita bahas mengenai pembiayaan kerjasama ini. Prakteknya adalah bank seakan-akan membeli kebutuhan nasabah seperti barang-barang yang akan dijual oleh nasabah pada supplier, lalu nasabah membayar kembali pada bank dengan sistem angsuran. Dalam hal ini diperlukan akad wakalahatau perwakilan dimana bank mewakilkan pada nasabah untuk membayar barang-barang yang telah dibeli tadi pada supplier.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun