Memanen Dukungan, Melebarkan Jangkauan
Bagi pelaku sektor sanitasi setidaknya di pertengahan tahun 2000-an tentu mengenal singkatan dari TTPS dan ISSDP (Indonesia Sanitation Sector Development Program). Berangkat dari keberhasilan pelaksanaan pilot di 12 kota di tahun 2006-2007, di tahun 2009 bersamaan dengan penyelenggaraan KSN 2009, lahirlah program berskala nasional bernama Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Selama sekian tahun berikutnya PPSP menjadi semacam payung bagi program dan kegiatan sanitasi secara nasional saat itu.
Pada dasarnya PPSP mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki perencanaan pembangungan sanitasinya dengan menyusun Strategi sanitasi Kabupaten/Kota (SSK). SSK ini menjadi semacam cetak biru bagi daerah dalam pembangunan sanitasinya. Ada tumpang tindih dengan dokumen perencanaan lain tentunya, yang membedakannya adalah pemenuhan 4 prinsip: 1) dari, oleh, dan untuk kabupaten/kota; 2) berbasis data empiris; 3) Bersifat multi sektor; dan 4) mempertemukan pendekatan Top Down dan Bottom Up.
Prinsip pertama harus dilaksanakan agar pemerintah dan komponen masyarakat terlibat dalam perencanaan, tidak hanya sebagai produk konsultan yang akan tersimpan rapih di lemari arsip. Intinya, daerah sendiri lah yang sebenarnya paling mengenal kebutuhannya. Prinsip kedua harus berjalan agar perencanaan memiliki pijakan kuat untuk menghitung target dan sumber daya yang diperlukan. Selain itu, prinsip kedua ini mendorong seluruh pihak terkait semisal dinas-dinas menyepakati satu paket data sanitasi agar perencanaan berangkat dari titik yang sama. Prinsip kedua ini sejalan dengan prinsip ketiga yang mengharuskan seluruh dinas terkait untuk saling berkomunikasi dan berkoordinasi. Tidak hanya saat perencanaan, namun juga saat implementasi hingga Monev-nya.
Terakhir, prinsip keempat merupakan hasil pembelajaran di masa lampau. Pendekatan Bottom Up sempat menjadi rujukan keberhasilan suatu proyek atau program. Namun ternyata perkembangannya tidak mampu mengimbangi kecepatan kebutuhan. Pendekatan ini cukup berhasil di tingkat komunitas atau wilayah terbatas namun tersendat saat diadopsi dalam skala kabupaten/kota. Melalui kompromi dengan pendekatan Top Down lah diharapkan mampu melipat-gandakan pertumbuhan secara masif. Pemerintah memiliki visi pembangunan yang jelas dengan segala konsekwensinya, masyarakat memiliki peluang berkontribusi untuk ambil bagian merinci kebutuhannya.
Tantangan Saat Tumbuh Membesar
Di masa pelaksanaan pilot hingga replikasi di sebagian daerah generasi pertama PPSP, ke-4 prinsip tersebut masih diterapkan karena pendampingan yang cukup kuat dengan sumber daya yang masih memadai. Namun bagi peserta PPSP di generasi berikutnya nampak hanya pemanis sebelum perancangan dan penulisan dokumen. Data yang masih belum terkonsolidasi bahkan bolong-bolong, terlalu Bappeda driven, tidak ada penanggung jawab jelas akibat rotasi pejabat, sekedar memenuhi arahan pusat, dan sebagainya sehingga lagi-lagi berisiko hanya menghasilkan dokumen yang akan hinggap di lemari buku kantor.
Alhasil, awalnya istimewa saat dilaksanakan di 12 kota, antusiasme pemerintah daerah luar biasa masih nampak di 41 kabupaten/kota berikutnya, namun menjadi "biasa" saat direplikasi secara massif di skala nasional. Teringat ucapan NTU lainnya tentang program komposting di suatu kota di Jawa Barat: "Komposting itu bagusnya di skala komunal, tapi akan kebingungan kalo sudah di skala kota. Bagaimana pemasarannya? Siapa mau beli?". Kita bisa cari alasan, misal: Saat suatu proyek atau program berskala pilot, hampir seluruh sumber daya utama dikerahkan dan hampir pasti memadai karena besaran sasarannya masih kecil, itulah Pilot. Namun saat replikasi massif, cukupkah sumber daya kita untuk mengelolanya? Bisa jadi sumber daya yang belum siap atau memang sistemnya tidak siap untuk naik kelas ke panggung nasional.
Paket Lengkap yang Belum Dicoba Secara Lengkap
PPSP telah menyiapkan roadmap pelaksanaan secara lengkap. Target jumlah kabupaten/kota, penjaringan minat dan komitmen, penyiapan tenaga ahli dan pendamping, hingga pelibatan provinsi selaku kepanjangan pemerintah pusat. Materi paket panduan lengkap pun sudah siap: modul penyusunan dokumen perencanaan, skema pembiayaan alternatif, panduan advokasi, opsi teknologi, dan seterusnya.Â
Sayangnya, pemerintah daerah masih terperangkap di tataran perencanaan dan kebingungan untuk mentransformasikannya menjadi kegiatan pembangunan fisik dan non fisik. Again, alasan kekurangan anggaran menempati urutan teratas. Bagi sebagian besar pemerintah daerah mungkin ide dan konsep di dalam buku panduan PPSP tersebut masih sebatas teori dan wacana.