Mohon tunggu...
Yudi Mahlil
Yudi Mahlil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Islam UIN Imam Bonjol Padang

psikologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

LGBT, Perpektif Psikoanalisa Sigmund Freud

30 Juni 2023   15:12 Diperbarui: 30 Juni 2023   15:16 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era modern sekarang, sering kita lihat di tempat-tempat umum seorang pria bergandengan mesra atau berpelukan dengan pria juga. Entah pria yang dipeluk tersebut adalah sahabatnya, temannya, atau kekasihnya. Namun pada kenyataannya, pasangan homoseksual semakin banyak di kalangan masyarakat kita yang semakin modern ini. Begitu pula dengan wanita yang berpacaran dengan sesama wanita, atau disebut dengan lesbian.

Tentu kita sebagai masyarakat awam akan mempertanyakan mengapa pasangan sesama jenis kini semakin banyak jumlahnya dibandingkan beberapa tahun ke belakang. Masalah jumlah memang tidak ada yang bisa memastikan, namun pada intinya pasangan-pasangan ini sekarang lebih berani untuk menunjukkan identitas dan hubungan mereka ke publik tanpa malu-malu. Cibiran, pandangan negatif dan pandangan yang merendahkan adalah hal yang sudah biasa mereka terima dari lingkungan masyarakat.

Ada banyak anggapan di masyarakat seperti, "Pria yang bertindak dengan cara yang feminin pasti gay. Wanita maskulin dengan potongan rambut cepak dan suara berat berarti lesbian." Ini anggapan yang dipercaya banyak orang, dan dijadikan label untuk menilai orientasi seksual seseorang.

Label-label seperti itulah yang membuat tekanan makin besar dalam masyarakat kita terhadap kaum homoseksual maupun lesbian. Padahal stigma ini belum tentu benar, dan kita tidak bisa menilai orientasi seseorang hanya dari penampilan luarnya saja. Kaum lesbian, gay, dan biseksual juga memiliki kepribadian yang bervariasi, dalam cara berpakaian, tingkah laku, dan gaya hidup.

Banyak penelitian percaya bahwa orientasi seksual seseorang ditentukan dari kombinasi berbagai faktor, antara lain lingkungan, budaya, emosional, hormonal, dan biologis. Maka setiap orang yang menjadi homoseksual pasti dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda.

Faktor lingkungan dan sosial diduga paling berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang. Menurut Kartini Kartono dalam bukunya "Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual", disebutkan beberapa faktor penentu homoseksualitas, antara lain: Ketidakseimbangan hormon seks atau kelainan genetik (faktor bawaan lahir); Pengaruh lingkungan yang tidak baik yang mendukung seorang anak menjadi homoseksual, misalnya ada tetangga atau orang terdekat yang juga menjalani hubungan sesama jenis; Pernah ada pengalaman masa lalu yang mengarah pada hubungan sesama jenis, misalnya pelecehan seksual dari sesama jenisnya; atau seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya, sehingga timbul rasa antipati terhadap kaum wanita. Lalu mencari figur selain wanita sebagai sosok idealnya untuk menjalin sebuah hubungan.

Seorang ahli psikologi dunia, Sigmund Freud (1856-1939) yang terkenal dengan teori 'Psikoanalisa' menyebutkan bahwa periode perkembangan seorang anak mulai bayi hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh kematangannya secara seksual, seperti pengenalan organ kelaminnya, figur dan peranan orang tua sebagai pengasuh si anak, yang nantinya akan mempengaruhi orientasi seksual anak di masa depannya.

Menurut Sigmund Freud, orang-orang pengidap LGBT dapat disebut sebagai kontraseksual atau lebih tepatnya disebut invert. Sedangkan, jumlah data dan fakta di lapangan dapat juga disebut inversi. Sigmund Freud berasumsi bahwa jumlah orang seperti itu sangatlah banyak, walaupun sulit untuk memperoleh angka pasti. Perilaku inversi dibagi menjadi tiga jenis, yakni invert absolut, invert amfigenus, dan invert sesekali.

Invert absolut merupakan fenomena di mana orang yang mengartikan objek seksualnya hanya dapat berjenis kelamin sama. Pengidap invert absolut tidak pernah merindukan jenis kelamin berbeda sebagai objek seksual. Jenis kelamin yang berbeda dengan pengidap akan membangkitkan penolakan seksual di dalam diri mereka. Sedangkan bagi para lelaki, mereka menjadi tidak mampu melakukan aktivitas seks secara normal dan kehilangan rasa senang ketika melakukannya.

Invert amfigenus atau hermafrodit psikoseksual adalah kondisi di mana orang yang memilik objek seksual sesama jenis dan berbeda jenis kelamin. Sehingga inversi mereka tidak terlalu kuat karakter eksklusifnya.

Sedangkan invert sesekali dapat terjadi dan dipengaruhi oleh kondisi eksternal tertentu. Ketika seseorang tidak memiliki akses untuk melampiaskan libidonya terhadap objek atau imitasi seksual normal, maka orang tersebut akan melampiaskannya kepada berjenis kelamin sama. Dalam hal ini, mereka pun merasakan kepuasan di dalam aktivitas seksual dengan objek seksual barunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun