Demokrasi parlementer di Indonesia, yang juga dikenal sebagai demokrasi liberal, dimulai dengan jatuhnya Kabinet Presidensial Pertama pada 14 November 1945. Peristiwa ini dipicu oleh Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945, diikuti oleh Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang menyerukan pembentukan partai politik di Indonesia. Perubahan ini menandai awal dari sistem politik yang lebih pluralistik dan demokratis. Usulan ini disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945, mengubah sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer.
Masa Demokrasi Parlementer (1950-1955)
Periode demokrasi parlementer di Indonesia dimulai pada 1950 dengan terpilihnya Natsir sebagai Perdana Menteri, di bawah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Sistem ini berlangsung hingga sembilan tahun berikutnya, mencakup berbagai kabinet yang silih berganti memimpin negara.
1. Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951)
  Natsir, tokoh dari partai Masyumi, menghadapi tantangan dalam merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketidaksepakatan dengan PNI, yang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi, menyebabkan Natsir mengundurkan diri.
2. Kabinet Sukiman (April 1951 - Februari 1952)
  Kabinet ini juga mengalami masalah serupa dengan kabinet sebelumnya. Sukiman dari Masyumi menghadapi penentangan dari PNI, dan kabinetnya berakhir dengan mosi tidak percaya pada Februari 1952.
3. Kabinet Wilopo (April 1952 - Juni 1953)
  Wilopo berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen dan bertugas menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Namun, kabinetnya berakhir sebelum Pemilu dilaksanakan.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953 - Juli 1955)