Mengikuti persiapan pilihan presiden tahun ini jadi kepikiran ingin urun rembug sebagai bahan bacaan bersama. Proses pemilihan presiden tahun ini saya kira terasa istimewa dibandingkan 2 (dua) pemilihan presiden secara langsung sebelumnya. Selain kembali kepada coblosan (kemarin2 nyontreng kan), kita juga hanya memiliki 2 (dua) kandidat calon saja. Dengan tersisakan dua kandidat, pilpres cukup dilaksanakan sekali putaran. Ini berarti bisa menghemat anggaran negara untuk pemilu yang nilainya milyaran rupiah itu.
Pemilu sebagai hajatan negara dalam demokrasi semestinya menjadi ajang yang mendebarkan sekaligus menggembirakan bagi seluruh warga negara. Kompetisi yang dinilai oleh semua warga di negeri ini. Semua warga negara memiliki hak pilih yang sama untuk memilih pemimpin selanjutnya. Siapapun yg mendapat kepercayaan terbanyak akan didaulat memimpin negeri ini dan bertanggung jawab penuh menjalankan roda pemerintahan untuk keberlangsungan bangsa dan negara. Dan mencapai bersama tujuan berbangsa dan bernegara. Itu seharusnya. Itu teorinya.
Saya sebagai warga biasa di negeri ini sempat kaget saat suasana kompetisi mulai jauh dari kemeriahan biasa. Mulai jauh dengan kompetisi yang asik.
Memang sih dalam sejarah pemilu yang saya ikuti tak pernah dekat dengan suasana asik. Banyak intrik yang mendiskreditkan calon tertentu. Saya sempat teringat pada awal orde reformasi, saat itu bisa-bisanya pemenang pemilu (di)gagal(kan) jadi pemimpin negeri. Dengan bentuk informasi yang tidak tepat, beberapa kali sebagian warga negeri salah langkah.
Hari ini kita dihadapkan dengan bentuk penawaran yang jauh lebih kaya, lebih beragam. Asahan masa reformasi juga membiasakan diri warga negeri jauh lebih kritis. Untuk menonjolkan sosok wakilnya pun lebih berani.
Berbagai cara dilakukan untuk menonjolkan jagoannya, dan mengecilkan pesona kompetitornya. Dari cara biasa, luar biasa, hingga di luar kebiasaan pun ditempuh. Senang sih kalau membaca adu komentar di dunia maya tentang dua kandidat. Namun yang jadi bahan perenungan tersendiri bagi saya adalah munculnya isu2 negatif, hingga menjurus ke “kampanye hitam”.
Kalau sudah seperti ini saya jadi teringat saat di tribun selatan nonton pertadingan sepakbola. Tidak peduli sebagus apapun lawan kami, klub kami tetap pemenang. Tidak peduli bagaimana cara menangnya. Kalau perlu intimidasi wasit atau lawan, teriak-teriak keras untuk mengancam, kalau perlu lempar-lempar dikit botol Aqua ke pemain lawan agar konsentrasi mereka buyar. Agar mereka tidak berani lagi melanjutkan perjuangan. Dan akhirnya kami menang. Menang dengan cara kekanak-kanakan.
Saya menyayangkan adanya politisi yang mengintimidasi lawan kompetisinya dengan cara-cara yang tidak elegan. Mulai dari membuat puisi.. Hmm, mungkin bukan puisi ya, lebih tepat saya sebut saja pantun jenaka. Pantun jenaka itu seingat saya bacaan wajib pelajaran bahasa Indonesia semasa di sekolah dasar. Pantun itu tidak ada isinya, konyol, dan hanya untuk hiburan semata. Nah, kalau “Aku”-nya Chairil Anwar itu baru puisi.
Seorang politisi lain, yang tidak lagi muda malah menggambarkan pilpres ini layaknya perang. Buseet.. ini negeri damai bung, jauh dari konsepsi perang!
Kenapa tidak menggunakan bahasa biasa saja untuk menjelaskan kepada masyarakat luas, bahwa pemilu ini ajang melanjutkan pembangunan negara dengan pemimpin baru. Sehingga semua elemen bangsa hingga ke akar rumput tetap rukun, merasa aman dan nyaman walaupun berbeda pandangan.
Pemilu ini bukan perebutan hak-hak pribadi. Ini adalah ajang demokrasi untuk menempatkan pegendali dan nahkoda kapal negeri ini agak senantiasa bisa berlayar di lautan global. Agar senantiasa ada keterjaminan atas hak2 seluruh warga.
Pemimpin negeri ini siapapun itu, sudah semestinya memahami master plan tujuan bangsa dan negara, mengerti arah langkah bangsa. Intinya membangun bangsa secara keseluruhan. Bukan hanya membawa kepentingan pihak-pihak tertentu sebagai sobat politiknya.