Mohon tunggu...
Yudhistira Putra
Yudhistira Putra Mohon Tunggu... -

ya sudahlah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dampak Media pada Anak dan Peran Orang Tua

21 Agustus 2014   23:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:55 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut ilmu semiotika dinyatakan bahwa, manusia adalah homi signans artinya manusia yang selalu mencari makna yang ada di sekitarnya. Suatu saat saya pergi mengunjungi sekolah TK di Bandung, disana ada sekolompok anak-anak pria sedang bermain. Tiba-tiba timbul satu statemen dari seorang anak, “jangan main masak-masakan, nanti kaya cewe lohh.. kalau km main masak-masakan, kamu harus pakai bando...” salah satu anak itu sudah memberikan makna kepada suatu kegiatan memasak adalah tugas seorang wanita dan memakai bando adalah ciri-ciri perempuan. Setelah saya tanya darimana anak itu dapat mengatakan hal itu? Dia menjawab dari Televisi. Tampak terlihat trend telah membentuk pola pikir anak.

Graeme Burton menuliskan di dalam buku berjudul Media dan Budaya Populer. Budaya masa yang menjadi budaya populer ini didorong oleh motif  laba, dimana kaum kapitalislah yang senantiasa mengejar profit orientied menjadi pendorongnya.

Media menghasilkan yang disebut sebagai produksi massa. Produksi massa telah menghasilkan budaya massa yang telah menjadi budaya populer. Lalu yang terjadi adalah budaya massa telah menggantikan budaya rakyat (folk culture), yang merupakan budaya masyarakat yang sebenarnya. Hal ini berdampak kepada hilangnya gambaran lokal digantikan oleh budaya massa.

Dampak dari budaya massa adalah terbentuknya manusia-massa. Intervensi teknik-teknik manusiawi untuk membela individualitas manusia tidak mungkin karena nantinya akan menimbulkan berbagai kesulitan dalam diri manusia. Maka teknik-teknik manusiawi harus berfungsi mengadaptasikan manusia pada massa. Harus turut menjadikan manusia sebagai manusia-massa dengan menghilangkan apa yang sampai kini dianggap sebagai tipe manusia normal. Dalam proses kolektivisasi psikologis yang terjadi tanpa disengaja maka digunakanlah iklan.

Iklan itu adalah sesuatu yang baik di dalam marketing. Bisa meningkatkan penjualan dan memperkenalkan suatu barang. Tetapi dalam iklan juga harus hati-hati karena mengandung simbol-simbol yang bisa jadi baik atau tidak baik. Simbol itu akan membentuk paradigma publik. Orang yang melihat iklan adalah makluk yang dapat menilai dan merekam.

Tujuan utama dari teknik periklanan adalah menciptakan suatu gaya hidup tertentu. Oleh karena itu iklan yang berusaha membuktikan kebutuhan manusia akan barang-barang itu serentak menunjuk ke pemahaman yang sama tentang dunia, manusia, kemajuan dan lainnya. Iklan memberi keyakinan orang untuk membeli. Akibatnya ialah terbentuknya manusia-massa yang konsumtif.

Tujuan dari budaya populer itu adalah menjadikan manusia sebagai manusia konsumtif. Hal ini dapat kita lihat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang tingkat pembelian nya besar, artinya rakyat Indonesia lebih banyak menjadi konsumen dibandingkan penghasil. Barang-barang yang tidak laku dijual di luar Indonesia, akan sangat banyak peminatnya di Indonesia itulah salah satu bukti Indonesia ini adalah negara konsumtif yang besar.

Pihak yang sangat rentan untuk dipengaruhi adalah anak-anak. Anak-anak begitu polos/pure, mudah untuk merekam apa yang dilihat dan dirasa oleh dia. Lalu siapa yang dapat menolong mereka untuk mengawasi? Tentunya adalah orang tua mereka yang bersama-sama walaupun di zaman ini orang tua tidak bisa hadir 24 jam mungkin karena mereka sibuk bekerja atau sibuk dengan kegiatan masing-masing dari pihak orang tua. Apa jadinya bila generasi penerus menjadi generasi yang konsumtif? Secara pertumbuhan Ekonomi akan meningkat, tetapi manusia Indonesia tidak akan berkembang dengan karya-karya nya. Lalu harus dimulai dimana untuk mengamankan generasi penerus ini? Di mulai dari keluarga. Keluarga harus mendidik anak untuk tidak menjadi konsumtif tetapi bisa menemukan potensi anak itu. Siapa yang mendidik anak? Tentunya orang tua merekalah.

Saat ini banyak mengalami kendala dari para orang tua berhubungan dengan mendidik anak-anak mereka. ‘Roda’ perubahan itu dimulai dari orang tua, tetapi bila terjadi kendala dalam prosesnya maka perlu alternatif agar roda perubahan itu tetap dapat berjalan. Lalu apa alternatifnya? Demikian di bawah ini beberapa alternatif yang dapat direnungkan, yaitu:

1.Mengajar dari Keseharian

Metode mengajar dari keseharian atau mengajar informal ini sangat urgent untuk sekarang ini. Saat ini orang sangat mengidentifikasikan bahwa belajar terjadi hanya di tempat-tempat tertentu. Contoh: sekolah, tempat les, museum, dsb. Pembelajaran di dalam keseharian itu berkaitan dengan kesempatan karena kesempatan akan ditemukan di dalam keseharian hidup kita dan kesempatan itu perlu dimanfaatkan untuk mendorong anak-anak untuk belajar dari yang benar.  John Gootman dan rekan sekerjanya telah melakukan penelitian terhadap lebih dari 2.000 pernikahan, dan hasil penelitiannya itu diyakini telah menyentuh masalah-masalah keluarga. Bagian awal penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pernikahan yang benar-benar harmonis dan langgeng, terdapat lima atau lebih interaksi positif untuk setiap terjadinya satu interaksi negatif. Itu artinya anak perlu dijaga dengan budaya yang merusak diawali dari keseharian anak itu bersama orang tuanya. Orang tua menjadi teladan aktif bagi anak-anaknya. Maka orangtua perlu menyadari bahwa setiap hari di dalam kehidupannya adalah suatu kesempatan untuk mendidik anak, dengan demikian masalah orang tua mendidik anaknya dengan alasan tidak ada waktu.

2.Metode Berulang-ulang

Kata berulang-ulang bila diterjemahkan secara harafiah berarti “meruncingkannya, mempertajamkanya”. Berulang-ulang bukan dimengerti dengan cara yang kaku, tetapi maksudnya agar pengajaran itu menjadi gaya hidup mereka. Metode berulang-ulang itu sangat bermanfaat bagi pendidikan dalam keluarga, karena manusia mudah untuk lupa dan metode berulang-ulang mengubah suatu nilai yang diajarkan menjadi suatu gaya hidup. Berulang-ulang untuk mengajarkan tentang bagaimana gaya hidup yang benar, bukan sekali saja diingatkan tetapi berulang-ulanglah ingatkan anak kita.

3.Menciptakan Suasana Pengajaran

Menghadirkan suasana pengajaran di setiap aspek kehidupan keluarga disebut Teachable Moment. Artinya orang tua melakukan perannya sebagai pendidik, fasilitator dan teladannya di dalam setiap momen-momen apapun yang sedang dilakukan bersama anak-anak mereka dengan tujuan menciptakan suasana pengajaran. Contohnya adalah saat makan bersama bisa menjelaskan bahwa makanan yang dapat kita makan hari ini adalah pemberian Tuhan, orang tua mencari tetapi Tuhanlah yang memberi maka perlu mengucap syukur atas segala berkat Tuhan. contoh lainnya, saat melihat dijalan orang-orang yang menggunakan mobil mewah membuang sampah sembarangan di jalan.

Ada 3 alternatif, hal ini diharapkan menjadi alternatif untuk para orang tua untuk menjadi roda perubahan yang dapat dimulai di dalam keluarga. Jangan dengan mudah menyerahkan anak kepada orang lain. Jangan dengan mudah juga memberikan anak gadget. Jangan dengan mudah juga orang tua mengalihkan tanggung jawab dengan alasan tidak mempunyai waktu bersama dengan anak. Estafet perubahan ada ditangan orang tua, oleh karena itu orang tua pun harus menjadi teladan. seperti gambar dibawah, bisa diganti pembantu dengan gadget, atau ditinggalkan tanpa mengasuhan, atau dapat juga digantikan dengan fasilitas-fasilitas yang lainnya. kalau memang anak itu lebih berharga, maka orang tua tidak akan sembarangan "menitipkan" anaknya begitu saja.

Dalam hal ini tidak dimaksudkan bahwa sekolah tidak penting sebagai sarana pendidikan, namun belakangan ini sekolah sedang dikritik habis karena hanya mementingkan hasil diatas kertas ujian. Maka tulisan ini mencoba membawa pembaca kepada suatu esensi yang sudah ditinggalkan bahwa keluarga adalah sebagai pusat pembentukan dan orang tua memiliki peran yang penting di dalamnya.

“Negara yang hebat adalah negara yang terdiri dari keluarga yang kuat.”

21 Agustus 2014

@yudhistirazed

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun