Â
Pasal 123 UNCLOS memberikan mandat kepada negara yang mengelilingi laut semi tertutup untuk saling bekerja sama melalui organisasi regional untuk mengelola sumber daya ikan dan melindungi lingkungan laut. Selain itu, pasal 63 juga memberikan mandat untuk bekerja sama dalam pengelolaan sumber daya ikan yang beruaya jauh (highly migratory species). Sementara itu, sampai saat ini belum ada RFMO yang mengatur pengelolaan perikanan di kawasan LCS.
Â
Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) sendiri dilansir  dari situs resminya menegaskan bahwa LCS tidak termasuk dalam area konvensi. Menurut Jeremy Prince et al (2023), terdapat populasi Cakalang (Skipjack Tuna) di kawasan LCS, dibuktikan dengan data pendaratan ikan tersebut di seluruh negara peserta Common Fisheries Resource Analysis (CFRA) yang terdiri atas China, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Viet Nam.
Â
Namun demikian, hasil penelitian yang sama menunjukkan bahwa terjadi penangkapan ikan berlebih (overfishing) terhadap populasi juvenil Cakalang di kawasan LCS yang sangat mengancam keberlanjutan stok jenis ikan tersebut.[9]
Â
Dengan bukti ilmiah dan urgensi tersebut, maka secara hukum internasional terpenuhi kewajiban negara pantai di kawasan LCS untuk bekerja sama melalui kerangka RFMO. UN Fish Stocks Agreement (UNFSA) pada Pasal 8 memerintahkan negara terkait untuk segera bekerja sama memastikan konservasi dan pengelolaan yang efektif atas sumber daya ikan beruaya jauh, yang berdasarkan bukti ilmiah terancam eksploitasi berlebih.
Â
Belum adanya RFMO di kawasan ini menyebabkan area kantong laut lepas yang ada secara hukum internasional berlaku prinsip kebebasan di laut lepas. Padahal, apabila dibentuk RFMO yang mengelola perikanan di kawasan, negara pantai di kawasan LCS dapat memanfaatkan sumber daya ikannya secara bersama-sama tanpa berkonflik. Kawasan laut lepas ini seharusnya menjadi potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut.
Â