Mohon tunggu...
Yudhistira RizkyAbdillah
Yudhistira RizkyAbdillah Mohon Tunggu... Lainnya - PNS

PNS yang memiliki passionat di bidang kelautan dan perikanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RFMO Baru sebagai Solusi Perdamaian di Laut China Selatan

18 Mei 2024   13:05 Diperbarui: 26 Mei 2024   21:36 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nusaperdana.com (2020)

Kawasan Laut China Selatan (LCS) tidak kunjung mereda dari konflik maritim. Sebagaimana dilansir dari AP News, bulan Maret 2024 lalu Kapal Penjaga Pantai China menembakkan meriam air kepada satu unit kapal suplai Filipina, Unaizah May 4, di wilayah sengketa batas maritim China dan Filipina di Second Thomas Shoal. Insiden ini menyebabkan cedera terhadap awak kapal anggota Angkatan Laut Filipina dan kerusakan serius pada kapal. 

 

Mengutip dari Al Jazeera (2023), China mengklaim hampir seluruh Kawasan LCS melalui sembilan garis putus-putus (nine dash line/NDL) berdasarkan klaim sejarah. China mengklaim kepulauan Spratly (Nansha) dan Kepulauan Paracel (Xisha) sebagai teritori China. Klaim China ini yang kemudian oleh Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 diputuskan tidak memiliki dasar hukum, walaupun China dengan tegas menolak putusan tersebut.

 

Di satu sisi, negara pantai di kawasan LCS memiliki hak mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas lontinen berdasarkan konvensi hukum laut internasional (UNCLOS). Klaim NDL China tentunya bersinggungan dengan ZEE dan landas kontinen yang diklaim Viet Nam, Malaysia, Filipina, Brunei, dan termasuk sebagian ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

 

Hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan di kawasan LCS. Bagi Indonesia sendiri, NDL China merupakan ancaman terhadap hak berdaulat untuk mengelola sumber daya ikan, termasuk penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur di WPPNRI 711 (Zona 01).

 

Walaupun terdapat upaya perundingan kode etik (Code of Conduct in the South China Sea) melalui negosiasi ASEAN dan China, banyak ahli berpendapat bahwa kode etik ini akan sia-sia mengingat China tidak menghormati dan melaksanakan ketentuan hukum internasional. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang mengikat secara hukum (legally binding), dibanding hanya kode etik yang belum tentu akan dipatuhi para pihak.

 

Pembentukan organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization/RFMO) dapat menjadi salah satu opsi yang menjanjikan untuk meredam konflik berkepanjangan di kawasan LCS. Beberapa alasan yang mendasari opsi ini adalah mandat UNCLOS dan perjanjian pelaksanaannya, kepentingan bersama negara di kawasan LCS, dan urgensi pengelolaan perikanan yang efektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun