Bismillahirrahmanirrahim.
Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Tujuannya untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran akan kesehatan mental serta membela dunia dalam melawan stigma sosial.
Menurut saya, sih, Hari Kesehatan Mental Sedunia itu spesial. Sebagai pengidap gangguan kecemasan sosial, saya relate dengan hari spesial ini. Gejalanya tidak tertebak dan rasanya tidak enak, bahkan sering kambuh terutama saat sedang berada di sekeliling orang banyak.
Saya baru membuka diri akan hal ini pada tahun 2020 lalu. Namun, gejalanya baru muncul pada tahun 2019. Saya ingat tiba-tiba terbangun dari tidur dengan perasaan gelisah dan saya tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. Saya merasa pusing, kepala berkunang-kunang, tiba-tiba tidak bisa tidur lagi, bahkan ketika naik angkot ke kampus pun sekujur tubuh rasanya ada beratus-ratus jarum di atas kulit.
Tiap hari saya hanya ingin tidur dengan harapan semua akan baik-baik saja. Namun, gejalanya datang dan pergi lagi. Saya sering berkeringat dingin dan sesak napas. Mulai ada pikiran takut mati.
Tetapi, ketika saya mengakui gangguan kecemasan yang saya punya ke orang rumah, mereka merespon seolah-olah tidak ada apa-apa dengan saya. Mereka berpikir saya sehat luar-dalam. Yang saya balas dengan pernyataan: orang dengan anxiety hanya terlihat sehat di luarnya, di dalamnya dia ada apa-apanya.
Perlu diketahui bahwa penyakit mental berbeda dengan keterbelakangan mental seperti autisme dan MR. Penyakit mental antara lain:
1. Gangguan kecemasan
2. Depresi
3. Gangguan panik
4. Gangguan obsesif-kompulsif (OCD)
5. Histeria
6. Pica
dll.
Dan semuanya bukanlah bahan gurauan.
Dulu pemikirannya memang penyakit mental tidak ada apa-apanya dibanding penyakit fisik, dan kecemasan menurut orang dahulu hanyalah perasaan. Sekarang pemikiran orang sudah maju, dan kecemasan sekarang dipandang sebagai penyakit yang serius. Anda tidak tahu kapan Anda sembuh total.
Sedih rasanya orang masih meremehkan penyakit mental seperti depresi dan anxiety.
Jika Anda memiliki anggota keluarga dengan penyakit mental, sayangilah mereka, pahamilah mereka, ajak mereka bicara, dan jangan anggap penyakitnya lelucon.
Terima kasih.
Tabik,
Yudhistira Mahasena
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H