Mohon tunggu...
Yudhistira Widad Mahasena
Yudhistira Widad Mahasena Mohon Tunggu... Desainer - Designer, future filmmaker, K-poper, Eurofan.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

He/him FDKV Widyatama '18

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengintip Makna Lagu "Boys Who Cry" Milik Marius Bear, Pertanda Saatnya Lelaki Berhenti Diajarkan Tidak Boleh Menangis

17 Maret 2022   15:30 Diperbarui: 17 Maret 2022   15:31 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bismillahirrahmanirrahim.

Allah menciptakan manusia berperasaan. Senang, sedih, marah, takut, dan lain sebagainya.

Baru-baru ini saya terobsesi dengan lagu "Boys who cry" milik penyanyi pop asal Swiss, Marius Bear, yang akan mewakili negaranya di Eurovision Song Contest 2022 dengan lagu tersebut. Ternyata liriknya bermakna amat dalam. Ini dia sepenggal liriknya:

Hearts, they get broken
And God only knows why
And sometimes, airplanes
Fall down from the sky

And mountains, they crumble
And rivers, they run dry
And oh, whoa whoa...
Boys do cry

Anda melihat lirik di atas - "Boys do cry". Anak lelaki juga menangis.

Menurut saya jelas bahwa sudah saatnya orang tua zaman sekarang berhenti mendidik anak lelaki tidak boleh menangis. Apa salahnya lelaki menangis? Ternyata Lucky Laki salah - air mata itu bukanlah tanda kelemahan. Air mata itu adalah tanda bahwa lelaki juga seperti kita, manusia, punya perasaan.

Saya baru memahami perkara ini karena belajar tentang istilah baru, yaitu toxic masculinity. Toxic masculinity berarti anggapan bahwa lelaki harus berlaku dan berpikiran seperti layaknya lelaki, seperti tidak boleh bergaya lemah gemulai seperti perempuan, tidak boleh bermain dengan perempuan, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Ini salah. Jika anak lelaki terus menanamkan pandangan ini sampai dewasa, akan berpengaruh ke kepribadiannya setelah menjadi dewasa. Dia akan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan tidak mudah tersentuh, sehingga relatif melampiaskan negativitas di kehidupannya lewat kemarahan dan bukan air mata.

Lagi-lagi, isu toxic masculinity dan kesehatan mental ada hubungannya. Jika seorang anak lelaki diajarkan sesuatu dan menanamkannya sampai dewasa, pengaruhnya lagi-lagi ke kesehatan mentalnya.

Anak harus dibebaskan untuk mengekspresikan perasaannya. Jangan biarkan dia menyembunyikan segala negativitas dalam hatinya. Kalau menangis dan marah itu wajar dan manusiawi, semua orang melakukannya. Semoga kita semua selalu berada di bawah lindungan Allah SWT...

Tabik,
Yudhistira Mahasena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun