Bismillahirrahmanirrahim.
Allah menciptakan manusia berperasaan. Senang, sedih, marah, takut, dan lain sebagainya.
Baru-baru ini saya terobsesi dengan lagu "Boys who cry" milik penyanyi pop asal Swiss, Marius Bear, yang akan mewakili negaranya di Eurovision Song Contest 2022 dengan lagu tersebut. Ternyata liriknya bermakna amat dalam. Ini dia sepenggal liriknya:
Hearts, they get broken
And God only knows why
And sometimes, airplanes
Fall down from the sky
And mountains, they crumble
And rivers, they run dry
And oh, whoa whoa...
Boys do cry
Anda melihat lirik di atas - "Boys do cry". Anak lelaki juga menangis.
Menurut saya jelas bahwa sudah saatnya orang tua zaman sekarang berhenti mendidik anak lelaki tidak boleh menangis. Apa salahnya lelaki menangis? Ternyata Lucky Laki salah - air mata itu bukanlah tanda kelemahan. Air mata itu adalah tanda bahwa lelaki juga seperti kita, manusia, punya perasaan.
Saya baru memahami perkara ini karena belajar tentang istilah baru, yaitu toxic masculinity. Toxic masculinity berarti anggapan bahwa lelaki harus berlaku dan berpikiran seperti layaknya lelaki, seperti tidak boleh bergaya lemah gemulai seperti perempuan, tidak boleh bermain dengan perempuan, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Ini salah. Jika anak lelaki terus menanamkan pandangan ini sampai dewasa, akan berpengaruh ke kepribadiannya setelah menjadi dewasa. Dia akan tumbuh menjadi pribadi yang keras dan tidak mudah tersentuh, sehingga relatif melampiaskan negativitas di kehidupannya lewat kemarahan dan bukan air mata.
Lagi-lagi, isu toxic masculinity dan kesehatan mental ada hubungannya. Jika seorang anak lelaki diajarkan sesuatu dan menanamkannya sampai dewasa, pengaruhnya lagi-lagi ke kesehatan mentalnya.
Anak harus dibebaskan untuk mengekspresikan perasaannya. Jangan biarkan dia menyembunyikan segala negativitas dalam hatinya. Kalau menangis dan marah itu wajar dan manusiawi, semua orang melakukannya. Semoga kita semua selalu berada di bawah lindungan Allah SWT...
Tabik,
Yudhistira Mahasena