Orang Mbojo juga memiliki tradisi bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. Nama tradisi ini mbolo weki. Tradisi ini biasanya diselenggarakan untuk mempersiapkan suatu acara penting dari sebuah keluarga suku Bima, misalnya pernikahan atau khitanan.
Bila ada wanita suku Mbojo yang hendak menikah, tangannya akan ditempeli daun pacar yang sudah dihaluskan. Tradisi ini disebut peta kapanca. Secara filosofis, daun pacar yang dilumatkan dan ditempelkan pada telapak tangan sang calon mempelai wanita bermakna simbol bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang istri dari calon pengantin pria yang sudah meminangnya. Hingga kini, tradisi ini terus dipertahankan oleh suku Mbojo.
Dan terakhir, kita berjumpa dengan suku Sasak. Suku Sasak mendiami Pulau Lombok. Mereka berjumlah sekitar 3,3 juta di seluruh Indonesia, di mana 3 juta di antaranya mendiami NTB. Mereka berbahasa Sasak dan mayoritas beragama Islam, termasuk tarekat Islam tradisional yang dianut oleh orang Sasak, yaitu Wetu Telu. Kebanyakan di antara mereka dapat dijumpai di Dusun Sade di Lombok Tengah.
Bila orang Sasak menikah, mereka diarak-arak dengan berbagai alat musik tradisional dan kesenian khas Sasak, dalam tradisi yang disebut nyongkolan. Dalam tradisi ini, pasangan pengantin diarak beramai-ramai seperti raja dan ratu menuju rumah atau kediaman sang pengantin wanita. Tujuannya agar para warga sekitar mengetahui bahwa pasangan pengantin tersebut sudah menjadi sepasang suami istri yang sah.
Ngomong-ngomong soal tradisi pernikahan, suku Sasak punya tradisi kawin culik yang disebut merarik. Dalam tradisi ini, calon pengantin pria akan menculik calon pengantin wanita selama tiga hari tanpa sepengetahuan orangtuanya. Ini merupakan tindakan awal seorang lelaki untuk menculik seorang perempuan yang diinginkan untuk dijadikan istri, bentuk pembebasan si gadis dari orang tua dan keluarganya, dan juga menandai kerelaan untuk hidup bersama antara dua manusia yang berbeda jenis kelamin.