Selain itu, suku Sumbawa juga punya tradisi untuk menyambut musim panen. Namanya barapan kebo, mirip dengan karapan sapi di Madura. Barapan kebo dilakukan di sawahan berlumpur yang digenangi air. Dalam melakukannya, terdapat joki yang bertugas mengambil saka, yaitu tongkat kayu yang tertancap di sudut sawah, dengan cepat. Jika pemain berhasil mengambil tongkat tersebut dan mencapai garis finis, maka dia dinyatakan sebagai pemenang. Yang diincar dari pemenangnya bukan hadiah, namun harga diri dan martabat, selain itu ketika kerbau menjadi pemenang permainan, harga jualnya bisa tinggi sekali.
Sumbawa dikenal dengan kudanya. Kuda sumbawa biasanya dijinakkan untuk diambil susunya. Susu kuda liar sumbawa sangat lezat dan berkhasiat, khususnya dalam pengobatan gangguan pencernaan seperti sembelit, mencegah penyakit stroke, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan stamina otot, dan masih banyak lagi.
Orang Sumbawa juga memiliki tradisi terkait kuda, yaitu maen jaran (pacuan kuda). Tradisi ini dilakukan untuk menyambut musim panen yang menjadikan cerminan rasa syukur. Jokinya adalah anak lelaki berusia 9-12 tahun. Selain sebagai atraksi hiburan, maen jaran juga menjadi ajang untuk meningkatkan harga jual kuda ketika menjuarai permainan ini.
Orang Sumbawa juga punya tradisi jika ada yang mau menikah. Namanya nyorong. Ini adalah prosesi mengantarkan barang dari keluarga calon pengantin lelaki ke calon pengantin perempuan. Barangnya berupa bahan kue, bahan makanan, pakaian, hingga tempat tidur. Upacara nyorong dilakukan untuk menjalin silaturahmi antara kedua keluarga calon pengantin.
Suku Bima atau Mbojo menghuni bagian timur Pulau Sumbawa. Daerah tempat tinggal mereka mencakup Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, dan Kota Bima. Mereka berjumlah sekitar 510.000 orang. Mayoritas dari mereka beragama Islam. Mereka berbahasa Bima. Menurut sejarah perkembangannya, bahasa Bima dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok bahasa Bima lama (Donggo) dan bahasa Bima baru (Nggahi Mbojo). Seperti bahasa Jawa, bahasa Bima terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu kasar, menengah (digunakan dalam percakapan sehari-hari), dan halus (bahasa istana).
Wanita suku Mbojo menutupi tubuh mereka dengan sarung tenun khas Bima yaitu tembe nggoli. Tradisi berbusana ini disebut rimpu. Konon, tradisi rimpu ini sudah ada sejak era Kesultanan Bima. Saat ini tradisi berbusana rimpu ini sudah jarang digunakan oleh generasi muda Mbojo sekarang, namun kini mulai sering diperkenalkan kembali pada acara-acara kebudayaan yang diadakan oleh dinas kebudayaan setempat.
Sarung yang dikenakan wanita Bima pada tradisi berbusana rimpu menutupi tubuh mereka. Hanya sebagian wajahnya yang dapat dilihat. Gunanya untuk menutup aurat. Aurat wanita meliputi seluruh badan kecuali sebagian wajah dan telapak tangan.