Kondisi-kondisi tersebut, berkontribusi pada krisis ekologis, menciptakan degradasi kawasan, hingga mendorong terciptanya relasi ekologis yang timpang. Tidak hanya dampaknya bagi hutan hijau dan berbagai fauna yang bernaung di dalamnya, tetapi juga kelompok suku adat sebagai penghuni.
Pengelolaan berkelanjutan tambang dengan berbagai prinsip terbaik, kerap kali hanya sebatas jargon dan kertas kosong. Kalkulasi atas efisiensi ekonomi menjadi dasar utama, sehingga mengakibatkan kerusakan ekologis. Pada akhirnya, menimbulkan bencana bagi lingkup sosial.
Pada perhelatan pemilu lalu kita diperkenalkan dengan konsep tobat ekologis. Sumber energi utama dunia bergeser ke berbagai alternatif non fosil, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Keberadaan alam, seharusnya dipandang sebagai bagian yang perlu dijaga dan dirawat, serta dihormati.
Selama ini berbagai organisasi sipil memberikan advokasi, melindungi pihak terdampak tambang. Bila pemilik tambang adalah ormas keagamaan, maka ruang konflik bergeser menjadi horizontal, korporasi ormas berhadapan dengan kelompok masyarakat, sungguh menyedihkan.
Padahal dalam upaya pengelolaan sumber daya alam prinsip utamanya koperasi, bukan sekadar menjadi korporasi. Ekonomi inklusif, dalam Why Nations Fail, Acemoglu & Robinson, menyebutnya sebagai bentuk demokratis, dengan melibatkan partisipasi aktif publik dalam berbagai pengambilan kebijakan.
Pola ekonomi ekstraktif, sebagai lawan dari model inklusif, berdasarkan pengalaman di banyak kawasan, seringkali diperkuat dengan penggunaan aturan tangan besi dan kekerasan. Sebagian kalangan menyebut fenomena ini, sebagai kutukan sumber daya alam.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, mungkinkah ormas keagamaan mau mengambil sikap berlawanan dengan arah tujuan -khittah keberadaannya, yang berseberangan hajat publik. Kekuasaan akan terus berupaya untuk menghegemoni kekuatan masyarakat, dengan berbagai caranya.
Lantas apa solusi bagi ormas keagamaan bagi kebutuhan pengembangan dirinya? Satu jawabannya: tetap setia dan hanya setia pada kepentingan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H