Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

RUU Penyiaran, Ruang Sempit Demokrasi

4 Juni 2024   13:36 Diperbarui: 22 Juni 2024   10:17 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesak! Upaya revisi UU Penyiaran mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, tidak hanya oleh para awak media, namun juga oleh akademisi hingga publik secara luas.

Usul perubahan pada UU Penyiaran, berpotensi mempersempit ruang demokrasi. Tidak hanya itu, ruang kehidupan sosial itu juga semakin menyusut dan pengap.

Esensi terbesar dalam demokrasi adalah, kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Media sebagai sarana informasi dan komunikasi, sekaligus menjadi gelanggang bagi tampilnya berbagai pendapat yang berbeda, dan dengan itu proses edukasi, sosialisasi hingga diskusi publik terjadi.

Bahkan kerja pers dan media, yang menjadi juru bicara bagi kepentingan publik, dinyatakan sebagai pilar demokrasi.

Poin kunci dari keberatan akan RUU Penyiaran adalah larangan jurnalistik investigasi, termasuk membawa ranah sengketa pers ke jalur pengadilan.

Rumusan dari ajuan peraturan tersebut, seakan makin jelas memperlihatkan otot kekuasaan. Dimensi otoritarianisme membutuhkan stabilitas yang diperoleh melalui menebar ketakutan.

Suara berbeda dimaknai sebagai gangguan. Tidak diperbolehkan ada nada yang berlawanan. Pemegang kekuasaan seolah berhak menentukan mana yang benar dan salah menurut versinya, tanpa membuka tafsir lain.

Hal pokok dalam kerangka tugas pers adalah memastikan berpihak pada kebenaran, maka kumpulan fakta dan bukti akan dilampirkan.

Upaya investigasi, perlu dimaknai sebagai fungsi check and balances atas kekuasaan, ketika semua kanal politik formal mengalami kekosongan penyeimbang, alias oposisi.

Kehadiran jurnalisme investigasi, disebabkan karena banyak isu publik yang menjadi kepentingan khalayak, tidak mendapatkan penjelasan yang sepenuhnya.

Ketidakjelasan adalah kamar gelap bagi transaksi kekuasaan. Dengan begitu, eksistensi media investigasi ditujukan untuk menerangi apa-apa yang terlihat buram, agar mampu dipahami publik secara utuh senyata-nyatanya.

Kredibilitas media jelas dipertaruhkan, manakala mengangkat tema yang sensitif. Karena itu, jurnalisme investigasi adalah bentuk puncak dari kualitas produk media.

Kita tentu mengingat novel klasik George Orwell, 1984, mengisahkan negeri totalitarian yang mengatur pikiran, bahkan dibentuk kementerian kebenaran untuk mensortir apa yg benar menurut penguasa, dan melakukan propaganda demi kepentingan kekuasaan.

Dalam ruang sempit demokrasi, kita berharap pada peran media yang independen, tidak terkooptasi kuasa, serta menjadi antitesis dari praktik hegemoni. Hanya itu agaknya harapan yang tersisa, dan kita masih bermimpi tentang ujung terang dari lorong gelap ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun