Berani! Peluncuran film Dirty Vote (11/2), jelang tenggat periode pemilihan, adalah sebuah langkah yang perlu diapresiasi. Sebagian diantara kita boleh menyebutnya kontroversial, dengan berbagai kemungkinan motif dari kehadiran film tersebut.
Tetapi, film sebagai sebuah karya pemikiran, membuat kita harus mau secara terbuka menerimanya sebagai model konstruksi realitas yang ditawarkan. Suka atau bahkan tidak suka sekalipun.
Dirilis melalui kanal Youtube, dan telah ditonton lebih dari 3 juta views, produk film dengan durasi sekitar 90 menit ini memperoleh momentum viralitas. Bahkan sejak mulai sebaran teaser film itu, beberapa hari sebelumnya, banyak pihak yang menantikan penayangan film dengan genre dokumenter tersebut.
Bertindak sebagai narator dalam film adalah tiga ahli hukum tata negara, yang menyampaikan temuan dari berbagai hal terkait proses pemilihan umum 2024, Lengkap disertai dengan berbagai data dan fakta yang berkait, diurai dalam runtutan waktu yang bertalian antara satu kejadian dengan kejadian lain.
Prinsip dasar dalam ranah ilmu politik: tidak ada yang merupakan suatu kebetulan tanpa perencanaan, bahkan untuk yang terlihat seakan-akan tampak sebagai ketidaksengajaan, sejatinya telah disengaja dan direncanakan sebelumnya. Politik adalah ruang konspirasi kekuasaan, demikian hukum besinya.
Sesungguhnya tidak ada yang baru dalam apa yang diangkat melalui film tersebut. Majalah Tempo dalam berbagai edisi, sudah berulang kali melansir pemberitaan mengenai panggung belakang Pemilu 2024, beserta keremangan yang ada didalamnya. Jelas bukan barang yang sama sekali baru.
Praduga dan opini publik, yang mungkin hadir bersamaan dengan tontonan Dirty Vote tentu sangat bergantung interpretasi dan tafsir masing-masing. Satu hal penting, bahwa kebohongan dan berbagai tindakan manipulatif, merupakan kebiasaan yang telah menurun dari kehidupan manusia.
Hal itu dijelaskan dalam Truth, Tom Phillips, 2021, meski kita membabaki abad ini sebagai post-truth, sesungguhnya sejak jaman dahulu kala produksi kebohongan adalah sebuah hal yang terinternalisasi dalam relasi manusia. Periode digital mengeskalasi perbuatan kebohongan itu secara massif.
Kebohongan, menurut Stephens-Davidowitz, Everybody Lies, 2018 sebenarnya dilakukan oleh semua dari kita, dalam berbagai skala.
Hal itu, kini mudah terekam melalui jejak digital, keberadaan teknologi internet memudahkan distribusi informasi yang bohong serta keliru. Big data membantu kita untuk melihat pola relasi dan bagaimana kebohongan itu tercipta sekaligus diciptakan.
Polemik Film