Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menghidupkan Publik pada Pentas Kontestasi Politik

8 September 2023   21:09 Diperbarui: 9 September 2023   07:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu. (KOMPAS/Heryunanto)

Hilang! Keberadaan publik tenggelam dalam hiruk pikuk akrobat aktor di tahun politik. Tema akrobatik dipergunakan Vedi R Hadiz (Kompas, 5/9) "Musim Akrobat Politik", untuk menerangkan perilaku elit. Sulit dipahami, meski mudah ditebak, karena bermuara pada perebutan kekuasaan.

Politik kehilangan makna dasarnya, sebagai sarana dalam menjawab problematika kehidupan publik. Persis sebagaimana Tempo, (9/9) "Para Blantik dalam Politik Elektoral" menyebut situasi politik domestik layaknya pasar dagang sapi, para blantik menentukan nilai dan hewan yang diperjualbelikan.

Apa yang bisa dibaca dari arah politik kekinian, dalam konteks koalisi serta kontestasi? 

Hal fundamental dalam politik mengajarkan bila tidak ada lawan yang abadi, melainkan kepentingan sejati. Pada titik tersebut, kekuasaan adalah batas kompromi, sekaligus menjadi tujuan, bukan lagi sekadar sarana.

Karena itu, ajakan BEM UI, (14/9) untuk melakukan debat kandidat yang akan maju di ruang politik, patut diapresiasi serta menjadi sebuah oase dalam mendiskusikan gagasan. Kita tidak lagi berbicara publik sebagai kuantitas suara, melainkan menempatkan kepentingan publik lebih dari nafsu kuasa.

Sudah lama akademisi dan kaum cerdik pandai di negeri ini seakan lenyap ditelan bumi. Kesibukan para intelektual pada kehidupan domestik, mengejar jabatan internal, berlomba menjadi guru besar, termasuk menambah berbagai gelar akademik, yang juga diobral kepada elit politik, teramat suram.

Ruang kebebasan mimbar akademik hilang. Kelompok masyarakat sipil yang menjadi penyeimbang dengan memberikan suara berbeda dari arus utama, terlihat redup nan sayup. Narasi bagi kepentingan publik, seakan hilang dirimba pertengkaran politik tingkat tinggi, berisi konspirasi dan manipulasi.

Tidak mengherankan, bila produk regulasi yang dihasilkan dari para wakil rakyat, justru berseberangan dengan hajat pihak yang diwakilkan. Sebut semisal UU Omnibus Cipta Kerja, yang disebut melindungi kepentingan publik, justru ditentang secara luas oleh tenaga kerja itu sendiri. Kontradiktif.

Politik memang merupakan seni kemungkinan, fokusnya pada kursi kekuasaan. Dengan begitu, koalisi mudah dibangun atas dasar pragmatisme, jauh dari aspek idealisme, apalagi perspektif ideologi. Para tokoh politik berpikir mengenai eksistensi diri, menjurus narsisme, mengalami kedangkalan substansi.

Pada realitanya, kita telah mengada -being dengan pfondasi bersama dalam bangunan negara bangsa, dan seiring perguliran waktu kita perlu berproses menjadi -becoming wadah hidup bagi perwujudan harapan publik sebagai esensi pokok, menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas kesejahteraan umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun