Kedaulatan digital! Hal tersebut menjadi sebuah pernyataan atas situasi kerentanan digital, ketika interkoneksi masyarakat yang semakin intensif berjejaring, akibat dampak kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia. Gagasan tentang pembentukan angkatan siber mencuat, perlu pendalaman.
Sesungguhnya interaksi manusia dan kehidupan digital, semakin lama mengaburkan batas realitas. Ketercampuran online dan offline menjadi sebuah adaptasi baru. Bahkan siklus hidup berubah, menjadi relasi yang bergantung. Kemajuan teknologi mengubah perilaku individu maupun sosial.
Demikian pula batas wilayah negara, seolah menjadi tidak relevan. Dalam konteks teritori, teknologi merentang melawati sekat-sekat itu, bahkan kapan saja dan dimana saja, semua lokasi di penjuru dunia dapat diakses selama terdapat koneksi internet. Dunia sudah berubah sangat signifikan.
Dengan situasi tersebut, maka apa yang ada di dunia nyata kemudian bertransformasi ke ruang maya. Tidak hanya dampak baik dari keberadaan internet, tetapi juga potensi buruk yang datang bersama dengannya. Kita tidak hendak membangun glorifikasi utopian akan keunggulan berlebihan modernitas dunia, meski kita juga menolak perspektif dystopian yang selalu pesimistik.
Cara pandang yang dapat dibangun adalah technorealism, dimana ada dua wajah dari keping mata uang yang sama yakni "internet", dan untuk itu kita akan berupaya menangkal hal buruk, serta secara bersamaan mendorong perluasan hal baik.
Identifikasi keburukan internet adalah ekspresi yang sama dari realitas patologi sosial keseharian kita; penipuan, perjudian, kejahatan seksual, perundungan hingga kriminalitas. Hanya saja perbedaannya terletak pada medium ruang digital. Termasuk bila merujuk tantangan kehidupan bernegara semisal hacking serta pencurian data penting dalam klasifikasi kerahasiaan negara secara terorganisir.
Ide mengenai angkatan siber, layak untuk didiskusikan. Perlu berbagai sudut pandang yang berbeda dalam melihat persoalan ini secara utuh. Termasuk di dalamnya, upaya untuk memastikan agar keberadaan angkatan siber ini, sebagaimana matra angkatan lain yang bertindak sebagai alat negara, tidak berujung pada pengawasan selektif kepada warga negara, dengan kepentingan kekuasaan.
Dalam kajian Gramsci, seluruh kekuatan negara dapat terbagi menjadi aparatus represif maupun ideologis, yang terletak di leher dan puncak piramida. Kedua aparatus tersebut, dipergunakan untuk melayani kepentingan struktur dasar, yakni penguasaan ekonomi, berdasarkan perspektif Marxian.
Pada keseluruhan piramida, penguasaan ekonomi menjadi penentu aras politik. Pada akhirnya, seluruh bagian dari kerangka piramida, akan didayaupayakan untuk mengukuhkan posisi kekuasaan. Bila begitu, maka bukan tidak mungkin, keberadaan angkatan siber berbalik fungsi, dari idealisme upaya memastikan ketahanan serta kedaulatan digital, menjadi upaya membangun keseragaman berpikir.
Kita kerap mendengar, dan bahkan terngiang di telinga, beragam tindak kekuasaan dilakukan dengan tajuk menjaga persatuan, bahkan dalam terma mengamankan kepentingan pembangunan. Sesuatu yang tampaknya mungkin terjadi bila tidak ada kontrol atas kendali tersebut.
Menjadi menarik petikan novel 1984 George Orwell yang diterbitkan pada 1949 untuk melengkapi keseluruhan diskusi ini. Dinyatakan dalam kehidupan yang totalitarian, upaya pengendalian pikiran dilakukan dengan teleskrin, dinaungi kementerian kebenaran—ministry of truth— bahwa tidak boleh ada yang berbeda, keseragaman pandang adalah tujuan akhir, tidak bisa ditolerir. Semua hal yang berbeda adalah penyimpangan, mendapat penindakan dari polisi pikiran, perlu dilakukan indoktrinasi ulang. Propaganda masif dilakukan. mencetak kebenaran sesuai versi kekuasaan, tanpa perlawanan.
Pola kehidupan di bawah pengawasan ketat ini, sebagaimana disampaikan Foucault diilustrasikan sebagai desain panopticon, layaknya bangunan tinggi suar lampu di dalam landskap penjara pertengahan, yang memberikan efek sorot cahaya agar seisi penjara terawasi.
Sejenak kita perlu renungkan ulang tata kelola angkatan siber ini, bila pada akhirnya nanti direalisasikan. Bahwa terdapat etika dasar yang seharusnya tidak bisa dilanggar, yakni penghargaan terhadap kebebasan manusia dan kepentingan publik, bahwa "pelangi itu indah karena perbedaan warna".
Termasuk memaknai kutipan "quis custodiet ipsos custodes?", (Lantas siapa yang akan mengawasi sang penjaga?) yang merupakan refleksi filosofis penyair Romawi Juvenal. Tentu yang membatasinya adalah kedaulatan rakyat, karena tanpa hal tersebut kedaulatan digital bangsa akan sia-sia belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H