Beda Kompas, lain pula Tempo dalam mengusung berita mengenai UU Kesehatan. Bobot sentral pemberitaan, terletak pada hilangnya besaran kewajiban dalam anggaran kesehatan -mandatory spending. Hal itu dianggap menyalahi komitmen global, dan berpotensi berdampak pada pelayanan di daerah.
Meski demikian, Tempo memberikan ruang penjelas terkait opsi dari skema baru anggaran kesehatan yang diusung pemerintah. Membalik diksi, "program berbasis anggaran" menjadi "anggaran berbasis program", guna menjaga efektifitas pembiayaan dengan mendorong aspek preventif serta promotif.
Kepastian anggaran, seturut pemberitaan Tempo, merupakan bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi publik. Selain itu, mengisyaratkan adanya keseriusan sekaligus keberpihakan dalam politik anggaran, bagi perbaikan sistem kesehatan nasional.
Bersamaan dengan pengesahan UU Kesehatan, Tempo menyoroti pula kewenangan Kementerian Kesehatan yang semakin membesar. Situasi ini, menghilangkan peran organisasi profesi. Ketergesaan ketuk palu undang-undang menjadi mengkhawatirkan, senafas komersialisasi kesehatan.
Peran dan tanggung jawab negara menjadi pangkal soal dari berita Tempo. Kehati-hatian perlu dikembangkan untuk memastikan agar UU Kesehatan yang baru ini, benar-benar memberi manfaat luas bagi masyarakat. Jangan sampai melayani kepentingan segelintir pihak, sebut Tempo.
Sudut Mikro-Makro Media
Tidak bisa dipungkiri, kedua media massa memiliki sudut pandang berbeda, dalam melihat UU Kesehatan. Kompas melihat aspek mikro, persoalan di level organisasi profesi, terbilang diantaranya mengenai kelangkaan tenaga kesehatan dan sulitnya berpraktik bagi dokter diaspora.
Sementara Tempo memandang cakupan makro, pada letak tugas kekuasaan, dalam hal ini pemerintah sebagai pengambil kebijakan, untuk memastikan perhatian yang menyeluruh bagi sektor kesehatan. Dengan begitu, amanat belanja anggaran kesehatan merupakan kewajiban.
Jelas tidak ada benar-salah, selayaknya hitam-putih dalam memandang UU Kesehatan. Media massa mendasarkan diri dalam lingkaran pengaruh saat membentuk suatu berita (Shoemaker, Reese, 1996), terkait pemahaman individu jurnalis, kerangka kerja redaksi, ekonomi-sosial-politik, hingga ideologi.
Selain itu, bagaimana membentuk berita menjadi sebuah agenda, dalam bingkai -framing dan menempatkan secara sirkuler agenda media, dalam mendorong agenda publik, menjadi sebuah agenda kebijakan, dapat diperankan serta dipertukarkan secara timbal balik (McCombs, Shaw, 1972).
Pada esensi terjauh, pembaca memiliki rasionalitas tersendiri untuk mengkonstruksi wacana yang ditawarkan oleh media. Seluruh premis yang dianggap mewakili kepentingan dan kehendak publik, semestinya mudah diterima. Kita akan melihat bagaimana akhirnya.