Buram! Masih belum jelas benar seperti apa masa mendatang di era kecerdasan buatan, Artificial Intelligence (AI). Bagaimana kita bersikap dalam merespon perubahan terkini dari kemajuan teknologi tersebut? Serta seperti apa kepemimpinan akan berlaku?.
Diskusi mengenai Ai selalu menghadirkan berbagai sisi yang berbeda. Kelompok optimistik, menggambarkan secara utopia tentang pencapaian yang mungkin dapat dicapai nantinya membuka ruang baru bagi gugus kehidupan manusia, sebelumnya tidak pernah terbayangkan.
Sementara di kutub berbeda, kecenderungan pesimistik membentuk ilustrasi dystopia mengenai kekhawatiran akan ancaman yang mungkin dapat ditimbulkan melalui kecerdasan super tersebut. Terdapat potensi besar kekacauan ketika mesin semakin jauh melangkahi manusia.
Diantara kedua jurang tersebut, kemana kita hendak melangkah? Teknologi, hakekatnya adalah perpanjangan tangan manusia. Tetapi itu era sebelumnya, ketika fase mekanisasi dan otomatisasi, sehingga didapat pertambahan laju produktivitas melalui keberadaan mesin teknologi.
Pada masa kini, mesin-mesin teknologi tersebut dilengkapi dengan algoritma kecerdasan, mampu berpikir, serta merumuskan berbagai persoalan dengan menggunakan berbagai sisi data yang dapat dirangkum melalui data koneksi terhubung milik manusia, bahkan dapat mengambil solusi terbaik.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah dengan nasib manusia? Kita perlu menarik keterhubungan antara berbagai problematika kelahiran bentuk kecerdasan baru ini dengan satu perspektif yang mengandaikan bahwa kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan, dan pemegang kendali dari kemajuan yang seolah tidak terbendung ini, kembali ke tangan manusia itu sendiri, bukan mesin.
Dalam kerangka filosofis, artikel Saras Dewi, Bahasa dan Kecerdasan Artifisial, Kompas (1/7) menjadi bahan perenungan yang perlu dicermati dengan baik. Keberadaan teknologi jenis ini, membutuhkan regulasi guna memastikan kebermanfaatannya, mereduksi dampak negatif secara bersamaan.
Peran Pemimpin
Dengan begitu, manusia tetap menjadi pengendali dan pendulum sentral. Di masa dimana kecerdasan buatan mulai masif dipergunakan dalam kehidupan manusia, maka dibutuhkan individu yang tidak mudah didikte, mampu secara otonom mengambil keputusan yang pelik dengan berbagai risiko.
Sebagaimana layaknya manusia yang memiliki sifat keterbatasan dalam rasionalitas pemikiran—bounded rationality, maka kemampuan kolaborasi menjadi sebuah pembeda dalam makna kolektivitas. Mereka yang bersiap menjadi pemimpin harus memiliki pemahaman akal budi, moralitas dan etik terbaik.
Berbekal modalitas dasar tersebut, maka seorang pemimpin akan mampu melihat urgensi penting teknologi beserta konsekuensinya, serta memastikan manusia tetap berada dalam koridor nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Seolah klise, tetapi memang realitas tersebut yang dibutuhkan.
Jika kita evaluasi tulisan Andreas Maryoto, Dunia Tanpa Pekerjaan, Kompas (1/7) terlihat bagaimana proyeksi yang dapat terjadi bila posisi kecerdasaan artifisial ini semakin dominan dipergunakan, ketergantungan manusia menjadi relatif tinggi, kemudian berbagai pekerjaan menghilang.
Kolektivitas Sosial
Peran kepemimpinan diharapkan melampaui cara berpikir kecerdasan buatan. Karena itu pemimpin masa depan adalah mereka yang memiliki visi jangka panjang, mampu menimbang persoalan dan turunan solusi yang dapat dihadirkan untuk menjawab permasalahan tersebut.
Padanan seimbang bagi bentuk kepemimpinan adalah para cendekiawan. Lapisan yang sebagaimana disebut M Alfan Alfian, Menghadirkan Kembali Intelektual Publik, Kompas (1/7) menjadi pihak dengan bobot pemikiran tercurah penuh pada perhatian akan kepentingan publik secara obyektif.
Bila kemudian merujuk pada karya Yuval Noah Harari, dalam Homo Sapiens, 2017 diterangkan bila kemampuan manusia berkomunikasi serta membangun kerjasama dalam kelompok, sekaligus berkehidupan sosial menjadikannya mampu membentuk peradaban, dengan sains dan perkakas.
Selanjutnya, Harari menuliskan Homo Deus, 2020, kelompok sapiens mampu melintasi berbagai kondisi krisis yang dihadapinya, meningkatkan kapasitas teknologi dan disitulah permainan peran dimulai. Manusia bertindak sebagai pencipta, playing god dengan bioteknologi hingga kecerdasan buatan.
Kiranya pada titik inilah, secara reflektif manusia mulai berkalang ego. Ambisi besar manusia untuk menjadi sang pencipta yang tidak terbantahkan, seakan melampaui kondisinya. Padahal sesungguhnya umur dan rasionalitas akal manusia sangatlah terbatas, untuk itu kita seharusnya mulai berbenah manakala berhadapan dengan kebaharuan teknologi kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H