Kecewa. Sebagian kalangan menanggapi gagalnya Indonesia bertindak sebagai tuan rumah World Cup U20 FIFA dengan rasa penyesalan.
Sementara sebagian lainnya menilai hal tersebut sejalan dengan prinsip dukungan kita atas kemerdekaan Palestina. Tersebab persoalan kehadiran Timnas Israel sebagai peserta acara Piala Dunia U20.
Begitulah wajah kita, selalu ada dalam dua sisi berbeda.
Tetapi tidak ada yang salah atas kedua cara berpikir itu, keduanya memiliki dasar pemikiran terkait. Pada kelompok pertama, mereka menanggapi Piala Dunia U20 sebagai ajang olahraga populer sejagat, menghadirkan peningkatan prestasi, potensi ekonomi hingga mendukung persatuan dunia, bisa jadi ada benarnya.
Di lini masa media sosial, keriuhan terjadi. Timnas Indonesia pada akhirnya juga gagal tampil di pentas Piala Dunia. Hal itu merupakan konsekuensi, karena tiket berlaga yang didapat merupakan hak istimewa bagi negara yang bertindak sebagai penyelenggara. Jatah bermain di level dunia melayang sudah.
Sedangkan keberadaan timnas Israel lolos ke Piala Dunia U20 adalah hasil prestasi dalam kompetisi, dimana induk sepakbola ada dalam pengelolaan mandiri FIFA.
Dengan begitu, kancah pertandingan yang bersifat internasional seperti ini, adalah murni tentang olahraga. Pada bagian tersebut perlu penjelasan terpisah.
Sementara, pada kelompok kedua, sepakbola tidak terpisah dengan ekspresi sosial politik, karenanya kehadiran timnas Israel juga menjadi representasi atas pengakuan eksistensi negara zionis tersebut yang selama ini melakukan penguasaan atas tanah Palestina.
Indonesia berada pada sisi dukungan bagi perjuangan dan kemerdekaan Palestina. Pemahaman ini juga tidak salah.
Bila kemudian ada suara yang hendak menyampaikan, bahwa hendaknya sepakbola dilepaskan dari ranah politik, hal ini nampak tidak terlalu tepat. Kalau sempat menonton film dokumenter Netflix yang berjudul FIFA Uncovered, 2022, kita memahami bagaimana FIFA juga kerap bertindak secara politis.
Pada konteks lokal, soal Piala Dunia U20 dan kedatangan timnas Israel juga tidak akan viral kalau tidak diberi bobot politik. Kepala daerah menolak, ditambah dengan partai politik. Bahkan ketua PSSI yang juga menteri, diperintah presiden untuk melobi FIFA. Semua seperti nampak sedang bermain bola politik di gelanggang.
Tidak terang benderang sepakbola bisa dipisahkan dari politik. Lihat saja, bagaimana Argentina di tahun 1978, yang kala itu dipimpin Jorge Rafael Videla menyelenggarakan Piala Dunia, ditengah citra pemerintahan anti demokrasi dan pemberangusan demonstran di negeri tango, untuk memperoleh citra positif.
Lebih jauh lagi, ide tentang tuan rumah yang beroleh untung dari perhelatan besar olahraga, juga kerap kali tidak terbukti.
Merujuk buku, Brazilian Football and Their Enemies, 2014, yang dirilis Pandit Football Indonesia tentang bagaimana Brazil bertindak menjadi tuan rumah piala dunia 2014 dengan biaya yang besar ditengah performa ekonomi yang tidak baik, justru menyedot pembiayaan besar untuk berbagai venue kegiatan. Â
Atau bila merujuk sejarah, Bung Hatta juga pernah mengkritik keras penyelenggaraan Asian Games 1962 di Jakarta oleh Presiden Soekarno. Proyek Mercusuar dibangun di atas kondisi yang tidak stabil ekonomi dalam negeri.
Momentum Pembenahan
Bagaimana bersikap dari situasi yang terjadi? Tentu kondisinya sudah final, Indonesia batal menjadi penyelenggara piala dunia U20, timnas pun tidak ikut bertanding, bahkan kemungkinan FIFA menjatuhkan sanksi atas kondisi tersebut, maka berbenah diri yang perlu dilakukan.
Momentum ini, menjadi lapangan riil yang praktis merupakan pekerjaan pengurus PSSI terpilih untuk membenahinya. Bukan hanya sekedar kemampuan retorika kampanye saat pemilihan semata.
Pada pemilihan terakhir, setidaknya dua menteri berkontestasi di ajang pemilihan ketua PSSI, bahkan menteri olahraga pun mundur dari kursinya untuk berfokus di PSSI, mungkin sedang berhitung aspek strategis dari posisi olahraga populer itu.
Penguatan kompetisi sepak bola nasional. Penjaringan bibit berkualitas dari penjuru negeri. Termasuk membangun budaya sportivitas adalah pekerjaan rumah yang masih tersisa. Belum lagi bila menyoal kejadian di Kanjuruhan, Malang.
Karena hidup itu layaknya bola yang digocek ke kiri dan ke kanan, berputar atas dan bawah, mulai titik ini mereka yang sudah terpilih untuk secara profesional mengelola olahraga sepakbola Indonesia perlu diminta bekerja dengan bersungguh-sungguh.
Sebab kita berharap bisa masuk piala dunia bahkan menjadi juaranya, dengan berbekal kemampuan bertandingnya secara berjenjang dari kompetisi ke kompetisi di berbagai tingkatan. Semoga saja kejadian ini menjadi sarana pembelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H