Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bingkai Gaya Hidup dalam Sorot Media Sosial

17 Oktober 2022   14:21 Diperbarui: 18 Oktober 2022   09:22 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"...Di depan ada polantas
Wajahnya begitu buas
Tangkap aku
Tawar menawar harga pas tancap gas..."

Kereta Tiba Pukul Berapa, Iwan Fals, 1983

Imajinasi itu bisa jadi masih sama. Apa yang diilustrasikan dalam lagu tersebut, masih melekat kuat di benak masyarakat. 

Petugas dan pejabat, seolah menjadi musuh dalam selimut. Padahal, para pelayan publik merupakan sarana bantu, dalam mengurai persoalan serta hajat umum.

Tetapi persepsi yang ideal, kerap kali menjadi persoalan pada tataran realita. Beban publik menjadi bertambah, ketika ekspektasi akan wajah ramah pejabat dan petugas jarang ditemui di kehidupan nyata, sebaliknya justru berpotensi menambah masalah baru. Berbelit.

Berurusan dengan pejabat dan petugas, menjadi sedemikian menakutkan. Dalam bayangan publik, berurusan dengan kedua kriteria itu menghabiskan waktu dan biaya. Sebaiknya menghindar. Padahal eksistensi pejabat dan petugas, sejatinya memudahkan masalah publik.

Kali ini, sorotan tajam publik tertuju pada korps kepolisian. Meski pada hakikatnya, publik juga memiliki rekognisi kewaspadaan yang kuat dan serupa bagi seluruh pihak, yang menyandang label sebagai pemangku keputusan dalam berbagai level. Ketidakpercayaan menguat.

Institusi pelindung dan pengayom masyarakat, berhadapan dengan jebloknya citra, kehilangan kepercayaan dan simpati publik sebagai basis legitimasi. Rentetan kejadian menimbulkan coreng di muka organisasi. Sebut saja judi, narkoba, kerusuhan, serta pembunuhan berencana.

Bila sudah demikian, apa yang perlu mendapatkan perhatian dan ditindaklanjuti?

Kejujuran dan kemauan untuk bertransformasi serta mereformasi organisasi menjadi kunci utama. Pada dua ranah (i) struktural dan (ii) kultural pola perubahan itu harus dimulai. Pada aspek struktural, mekanisme pengawasan dan pelaporan kinerja berjenjang perlu dibenahi.

Di wilayah kultural, upaya untuk mendorong terbentuknya sikap melayani perlu diboboti dengan transparansi, penting untuk ditekankan sebagai budaya organisasi. Perubahan dapat terjadi baik secara internal melalui regulasi, ataupun paksaan eksternal semisal rating publik.

Pertemuan Presiden dengan jajaran kepolisian, menjadi penting dan menarik. Menilik amanat yang disampaikan, termasuk perihal gaya hidup dan media sosial, hal tersebut merupakan bentuk pernyataan bahwa institusi kepolisian sesungguhnya memiliki peran signifikan bagi kehidupan bangsa.

Tersebab itu, dengan kekuasaan besar yang dimiliki, terdapat tanggung jawab yang harus ditampilkan. Kerja keras dan kehendak berubah adalah keharusan yang tidak bisa ditawar untuk mengubah persepsi negatif di tengah publik.

Lantas mengapa lifestyle menjadi hal awal yang disebut Presiden? Kita memahami bias dari ekspose kehidupan gemerlap para pejabat dan petugas, dapat menimbulkan antipati publik. Terlebih, media sosial memberikan ruang viralitas, untuk berbagai hal dalam percakapan maya.

Kehadiran media sosial, memang membuka ruang bagi upaya memperlihatkan pencapaian serta eksistensi diri, celah narsisme untuk mendapatkan likes menjadi pemicu. Hidup yang bermewah-mewah menjadi gambaran kesuksesan yang mengundang decak publik.

Tidak ada yang salah dalam ruang pamer media sosial. Kesalahan terbesar terjadi ketika pengguna media sosial, mulai mengupayakan berbagai cara yang tidak sepatutnya, untuk mendapatkan apresiasi publik. Disini letak timbangan etika dan moralitas berperan.

Sebagaimana film dokumenter Netflix, The real Bling Ring: Hollywood Heist, 2022, media sosial berubah menjadi medan pencarian ketenaran, dan pencapaian untuk menjadi sosok yang "tenar" serta dipandang oleh pihak lain, acap kali terjadi dengan melakukan kejahatan.

Dalam diagram hirarki Maslow, puncak tertinggi dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri yang lebih tinggi dari sekedar penghargaan. Bila dimaknai secara keliru, kita akan mudah terpeleset di media sosial dengan mempertontonkan kemampuan fisik.

Padahal aktualisasi diri dalam format Maslow memberikan efek kesadaran yang tertinggi pada kemampuan manusia untuk bersyukur, bahkan mampu memahami dan menerima realitas diri serta lingkungannya, dengan kualitas terbaik dalam kejujuran serta keadilan, bukan kebendaan.

Jadi hati-hati, kita justru dengan mudah tergelincir dalam jurang ukuran kepemilikan fisik dibandingkan kesadaran akan peran, tugas dan tanggung jawab kita untuk bekerja dengan baik dalam memberikan pelayanan publik. Semoga bisa segera dibenahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun