Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Korupsi dan Persepsi Keliru Pendidikan Tinggi

12 September 2022   13:16 Diperbarui: 13 September 2022   16:45 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tertangkap! Proses penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi lahan basah korupsi. Pembenahan tata kelola dunia pendidikan tinggi mutlak perlu dimulai.

Fenomena tangkap tangan Rektor Universitas Lampung, membuka tabir gelap pendidikan tinggi. Praktik culas tersebut tidak hanya didalam negeri, juga terjadi di negara maju.

Film dokumenter Netflix, berjudul, The College Admissions Scandal, 2021, bahkan kampus tingkat dunia seperti Stanford, Yale dan Universitas of Southern California, pun tak luput dari perilaku kotor korupsi, dalam bentuk donasi.

Melalui berbagai cara, anak dan orang tua calon mahasiswa baru, mencari jalur masuk ke perguruan tinggi, bahkan melalui pintu belakang. Jelas publik dirugikan.

Mengapa hal ini terjadi? Tiga hal penting saling terkait, (i) imajinasi serta persepsi keliru mengenai prestise kampus, (ii) keinginan lebih dari orang tua, dengan menghalalkan cara, dibarengi (iii) karakter buruk pengelola kampus.

Bahkan, meski dibekali mata kuliah pendidikan anti korupsi, yang diadopsi pada tingkat perguruan tinggi sekalipun, nyatanya tidak menghilangkan kebiasaan primitif tersebut di dalam kampus.

Proses penerimaan mahasiswa dengan transparansi yang rendah, mengakibatkan terjadinya ruang remang transaksi, berbarter kursi kuliah. Meski kemudian seleksi mandiri dievaluasi, perlu edukasi lebih luas mengatasi bias persepsi publik.

Kekeliruan tentang pendidikan tinggi, seolah mengindikasikan bahwa PTN lebih baik dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sederhananya: "negeri lebih keren dari swasta".

Hal ini seharusnya menjadi fokus Kementerian Pendidikan, khususnya mengatasi kesenjangan kualitas pendidikan tinggi.

Bahwa sampai saat ini, Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi tidak lebih dari 30%, menjadi fakta bila aksesibilitas perkuliahan masih rendah.

Peran kampus swasta merupakan alternatif wadah tampung calon mahasiswa, terlebih kapasitas perguruan tinggi negeri terbatas.

Bantuan dan dukungan sepantasnya diarahkan bagi kampus swasta kecil yang berjibaku menghidupi entitas dirinya, menaungi mahasiswa dari lapisan sosial menengah bawah.

Bahwa kualitas pendidikan penting, untuk semua. Pemerataan kualitas ini, tanpa pandang bulu negeri dan swasta perlu diayomi.

Jika hal tersebut terjadi, potensi korupsi semakin direduksi. Lantas bagaimana bisa menghidupkan kampus negeri?

Dengan berbagai fasilitas yang diperoleh melalui pembiayaan negara, fokusnya dapat dialihkan pada peluang pengembangan keilmuan, melalui inkubator bisnis.

Jalur ini jelas tidak mudah, kampus dengan segala kapasitas intelektualnya harus menjadi lahan riset dan pengembangan yang mampu diambil dalam kerangka industri, bukan sekedar riset teoritik.

Problemnya, pragmatisme pendidikan tinggi juga telah sampai pada tahap yang paripurna, bila kita memiliki kepekaan yang sensitif pada isu pendidikan.

Hal itu diurai dalam buku Peter Fleming, Dark Academia: How Universities Die, 2021 yang menyebut bahwa modernisasi perguruan tinggi telah mengakibatkan proses komersialisasi, elitism, birokratisasi hingga menjadi hamba jurnal akademik.

Dengan begitu, dampak sosial dan keberadaan kampus di tengah masyarakat menyiratkan posisinya sebagai menara gading, "tinggi menjulang di awan, tetapi tidak mengakar di bumi".

Kampus dengan bantuan anggaran negara, kemudian menjadi lahan lapang dari penguatan struktur kelas masyarakat, dan PTS menjadi perwujudan kelompok marjinal.

Disrupsi harus dilakukan dalam pengelolan kampus secara nasional, orientasi pemangku kebijakan perlu dikembangkan dalam kerangka penguatan kapasitas perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, termasuk memastikan pemerataan kualitasnya.

Pada sisi yang berbeda, pembenahan persepsi publik atas kasta-kasta dalam perguruan tinggi perlu didekonstruksi untuk semakin membantu tumbuh kembangnya pendidikan tinggi nasional.

Kita akan bersiap untuk persaingan global yang kompetitif hanya dengan merubah cara dan arah pandang kita pada diri kita sendiri. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun