Inisiasi untuk keluar dari tekanan yang menghimpit tersebut, dibuat dengan membangun lokasi aman, City of Joy, yang tidak hanya menjadi ruang rehabilitasi tetapi sekaligus tempat untuk membangun kembali mental dan harapan dari para korban kejahatan pemerkosaan untuk mampu berdaya.
Ironisnya, titik bara kejahatan seksual terkonsentrasi bersamaan dengan maraknya lokasi pertambangan kekayaan sumberdaya alam, yang dilengkapi pengamanan bersenjata. Terhimpit dan semakin tersudut posisi perempuan di ruang konflik. Direndahkan, sekaligus dieksploitasi sebagai objek.
Tidak hanya dibelahan negara Afrika, situasi serupa juga secara tipikal terjadi di tingkat lokal. Lihat perjuangan para perempuan berhadapan dengan kenaikan harga pangan konsumsi.Â
Tengok antrean ibu-ibu yang mengantri akibat kelangkaan minyak goreng, di negeri dengan berlimpah kebun sawit ini.
Karena itu, simpati sekaligus empati terbentuk, ketika melihat pemberitaan media melalui platform YouTube (24/2), saat seorang ibu berkeluh pada Menteri Perdagangan, yang bertugas mengurusi kekacauan tata kelola minyak goreng.Â
Secara etik dan moral, harus ada bentuk tanggung jawab di sana. Terlebih, para pengambil kebijakan justru menyebut indikasi penimbunan dilakukan rumah tangga.Â
Sebuah konstruksi yang seolah hendak lepas tangan dengan melemparkan persoalan pada perilaku publik. Kekhawatiran masyarakat akan pasokan bahan pangan, merupakan kegagalan struktural.
Merangkai Tujuan
Harus dapat dipahami, bahwa perempuan membawa makna kehidupan, merupakan ibu kebenaran. Dengan perspektif yang berubah tersebut, perempuan dapat dilihat sebagai konstruksi simbolik tentang kesetaraan dan keseimbangan hidup manusia di muka bumi.
Tidak melulu terkungkung dalam stereotipe merawat dan memelihara, tetapi sekaligus mampu membentuk dan membuat yang selama ini identik dengan profile lelaki.Â
Dalam era modern, perempuan justru memiliki kesempatan dan kemampuan untuk bertransformasi secara fleksibel.