Dengan pernyataan bahwa amanat BPJS Kesehatan sebagai cakupan nasional dan semua warga menjadi sasaran program, maka upaya mewajibkan adalah cara untuk melibatkan partisipasi publik secara meluas jelas sebuah hal tidak tepat.
Mengapa begitu? Karena publik justru bertanya, sejauh apa sistem integrasi data kependudukan nasional yang sempat digadang-gadang melalui proyek ambisius bernilai besar berjudul E-KTP? Sebab yang tersisa kemudian hanya kasus bancakan anggaran.
Psikologi publik belum juga pulih dirundung pandemi, harus berhadapan dengan kenaikan harga minyak goreng, cabai, hingga tempe, juga soal JHT yang tidak jelas, membuat pusing warga. Proses komunikasi kebijakan publik harus dirancang sensitif atas situasi sosial.
Tanpa melihat latar belakang dan kondisi yang aktual terjadi di masyarakat, sebuah kebijakan publik yang ditujukan untuk kebaikan publik -versi pengambil kebijakan, ternyata bisa berjarak dari kehendak publik. Sebut saja UU Omnibus dan UU IKN yang masih terus diperdebatkan.
Komunikasi kebijakan tidak hanya ditujukan untuk mempersuasi, sekaligus melakukan edukasi dan sosialisasi, tetapi hal yang lebih penting adalah menciptakan terbentuknya kepercayaan -trust sebagai modal sosial yang paling berharga.
Lagi-lagi di sini letak soalnya, ketika orientasi hasil mengabaikan proses, maka sulit membangun rasa saling percaya ketika aspek keterbukaan, kejujuran dan transparansi tidak terjadi. Kita disuguhi dengan berbagai OTT KPK, terlihat layar kaca.
Kini, bukan hanya sulit menciptakan rasa percaya publik, tetapi juga mahal harga kepercayaan tersebut di tengah situasi pandemi yang belum mereda. Defisit kepercayaan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H