Sebelumnya, ukuran kebahagiaan serta kesejahteraan, ditetapkan melalui pendekatan bernama product domestic bruto (PDB), sebuah nilai yang mengukur nominal total produksi sebuah negara, yang kemudian diasumsikan sebagai pendapatan per kapita, bila dibagi keseluruhan penduduk.
Indikator itu ditentang, meski tetap digunakan sebagai ukuran awal pemeringkatan negara-negara di dunia. Pilihan untuk berpaling pada penggunaan ukuran IPM dilakukan dengan menimbang faktor utama, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Pendekatan berbasis riil.
Namun statistik tetaplah metode perhitungan, ada potensi kesalahan pengambilan sampel hingga dimungkinkan pula terjadi kekeliruan dalam melakukan interpretasi, baik yang dilakukan secara disengaja dengan kepentingan tertentu, maupun tidak.
Lalu bagaimana melihat indeks kebahagiaan yang sempat dipublikasikan itu? Pertama: indeks tersebut merupakan metode kombinasi antara ukuran objektif dengan memberikan ruang subjektif, Kedua: sama seperti berbagai indeks lain, terdapat pula potensi error didalamnya.
Meski menimbulkan perdebatan, tetapi upaya untuk melakukan pendekatan realitas dengan menggunakan indeks kebahagiaan perlu mendapat apresiasi. Hal terpenting yang perlu mendapatkan perhatian adalah, apakah kita secara agregat sudah dalam kondisi yang berbahagia?
Pandemi telah bergelayut begitu lama. Bagi mereka yang terhempas karena pandemi, situasi ini jelas menyiksa. Tidak tersisa rona Bahagia. Sementara itu ketimpangan terbuka, media kita diisi dengan berita korupsi dari para pejabat publik. Mengenaskan, bantuan sosial selama pandemi justru jadi incaran.
Kuantitas yang Berkualitas
Hasil kalkulasi yang kuantitatif penuh dengan angka, perlu mendapatkan tafsir kualitatif. Kita menggunakan kedua cara pendekatan tersebut, baik yang kuantitatif maupun kualitatif, untuk mendapatkan gambaran realitas secara utuh.
Apakah kita berbahagia? Benarkah amanat kemerdekaan sudah tercapai? Sudahkah kita terhantarkan pada gerbang kesejahteraan, kecerdasan dan keadilan? Tema-tema dalam preambule UUD tersebut, masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Tentang yang merdeka sekaligus berdaulat, nyatanya masih membutuhkan perjuangan lanjutan. Tidak terhenti diruang proklamasi. Kebahagiaan sebagai imajinasi bersama yang menjadi cita-cita dan penggerak rasa kebersamaan mulai retak.
Kita sibuk larut dalam polarisasi politik elit yang tidak berkesudahan. Sejatinya agenda kepentingan publik justru terpinggirkan. Harga minyak goreng dan berbagai bahan pokok merangkak naik, ditengah lebatnya ribuan kilometer hutan sawit di negeri ini.