Silih berganti kejahatan terjadi. Dalam berbagi rupa dan skala, tindakan keji viral tersebar. Di layar kaca, bak bersalin rupa, tampang para artis menjadi kuyu setelah tertangkap narkoba.Â
Sementara itu, di jalan raya keributan terjadi persis suasana hutan rimba. Pemilik mobil mewah berlagak layaknya penguasa, tidak mampu menahan angkara. Prinsipnya, yang kuat, yang jadi raja.
Di gedung-gedung bertingkat, kejahatan kerah putih terjadi. Transaksi dengan memperdagangkan pengaruh dan jabatan dilakukan secara sembunyi. Kepentingan publik dikangkangi serta menderita.
Segala cara dipakai untuk memperkaya diri dan kelompok. Persekongkolan dan siasat licik dipergunakan agar mampu mempertahankan kekuasaan dalam genggaman. Kita tak putus dirundung kejahatan.
Pertanyaan dasarnya, bagaimana kejahatan itu merebak? Bukankah manusia pada dasarnya memiliki sifat kebaikan dalam dirinya. Kajian Rutger Bregman, Humankind: Sejarah Penuh Harapan, 2020, mempertahankan tesisnya tentang keluhuran kemanusiaan dengan seluruh perilaku baiknya.
Tentu manusia tidak bisa dipandang dari satu sisi secara utuh. Pada ulasan Topo S, Eva AZ, Kriminologi, 2009, dinyatakan bahwa kejahatan hadir melalui berbagai bentuk. Teorinya bahkan terpecah menjadi berbagai analisis, yang mengakar pada konsep biologis, psikologis bahkan sosiologis, tidak tunggal.
Tidak dipungkiri, sistem sosial, tekanan ekonomi, hingga himpitan politik sangat memiliki pengaruh dalam interaksi antar individu didalam lingkup sosialnya. Skema homo homini lupus tercipta, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Buas dan berbahaya, saling memakan.
Dalam lakon Joker, 2019, kutipan yang menarik sebagai bahan renungan adalah pertanyaan Joker akan kondisi realitas sosial yang dihadapinya, is it just me, or is it getting crazier out there? Joker itu kita, jiwa yang tersandera oleh hiruk pikuk modernitas, kehilangan sensitivitas serta kepekaan kemanusiaan.
Hal ini dijelaskan sebagaimana statistik kriminologi, mengungkapkan kejahatan semakin kerap terjadi dalam kehidupan perkotaan dengan densitas yang semakin rapat. Persaingan, kompetisi dan penguasaan akan hak milik pribadi menjadi pencetus.
Sedangkan, tingkat kejahatan di pedesaan relatif rendah, karena komunitas desa memiliki kemampuan untuk merasakan -sensing serta memaknai -perceiving adanya kebutuhan hidup secara bersama. Dengan begitu, kejahatan bukan sekedar karakteristik genetik yang diwariskan, melainkan terkonstruksi.
Penjelasan panjang lebar Christine Kenneally, dalam The Invisible History of The Human Race, 2022 mencoba menyakinkan kita bahwa tingkah polah dan laku gerik manusia terletak pada persoalan satuan informasi terkecil dalam diri manusia bernama DNA, seolah berusaha membalik situasi.
Kejahatan mencuat, layaknya bintang-bintang buruk yang terlepas dari kotak pandora, disebabkan kita kehilangan kesejatian diri, disertai lunturnya nilai dan norma sosial yang mengutamakan kebaikan bersama -bonum commune. Kita kehilangan panutan, sekaligus kehilangan wajah plus harga diri.
Lalu apa yang dapat ditawarkan sebagai solusi kebuntuan tersebut? Kerangka agenda perubahan baik dalam level struktural bangunan pondasi kehidupan bersama perlu diperkuat.
Melalui usulan Francis Wahono, Ekonomi Politik Daulat Rakyat: Pancasila sebagai Acuan Paradigma, 2020, maka tujuan hidup bersama dalam format bernegara, perlu kembali masuk pada upaya menyelesaikan persoalan publik.
Kehidupan bersama, berarti mencapai kesejahteraan bersama, bukan melalui asas perwakilan. Bila demikian, maka Pancasila bukan lagi menjadi sebuah mantra diawang-awang, melainkan harus membumi, sebagai serangkaian tindakan yang diimplementasikan pada kehidupan nyata.
Selanjutnya pada titik lain, di tingkat kultural, kita perlu melakukan penyegaran bersama tentang imajinasi kehidupan bersama, yang hidup melalui sendi gotong royong, agar tercapai hidup yang menang-menang, mendorong partisipasi dan kolaborasi meraih kebaikan bersama -eudaimonia.
Kembali ke pertanyaan mendalam, maukah kita? Mengalahkan para criminal jelas membutuhkan kesatuan pikiran serta tindakan dari para pemilik kedaulatan dan kebaikan. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib berkata, kejahatan -kebatilan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H