Sebelumnya, ruang digital sebagai bagian dari perkembangan teknologi, pada awalnya menyediakan ruang setara dan dialog dalam konsep ruang publik maya, berubah menjadi arena pertarungan kepentingan.
Dengan perspektif Foucault, ada dimensi persenyawaan antara kekuasaan dan pengetahuan, power-knowledge. Para pihak yang diuntungkan adalah mereka yang mampu mengontrol kedua bidang tersebut.
Di jagad digital, bentuk kebaharuan teknologi, publik menjadi tidak berdaya sebagai elemen yang terombang-ambing, serta merupakan makanan empuk para aktor politik.
Sebuah era tercipta, post-truth bersama dengan aksesoris kebohongan -hoaks sebagai ciri khasnya, dimainkan secara cermat melalui algoritma yang berpadu untuk kepentingan kekuasaan serta keuntungan bisnis.
Pandangan skeptis itu, bagi Bartlett, akan menjadi sebuah keniscayaan bila kemudian publik tidak segera terbangun dan sadar dari buaian kehidupan digital saat ini.
Gambaran indah tentang kehidupan layaknya kampung besar -global village akibat koneksi teknologi, lambat laun berubah menjadi tersekat dalam wilayah perkubuan akibat teknologi pula.
Jauh lebih dalam, komunitas manusia, dikonstruksi tidak lebih menjadi boneka yang dimainkan oleh alur pikir dan gerak melalui kecerdasan buatan serta mahadata.Â
Manusia yang utuh berubah menjadi objek, dikuantifikasi dalam kalkulasi statistik, diproyeksikan statis, tidak ubah bagaikan mesin.Â
Kesenjangan, ketidakmerataan, hingga dimensi ketidakadilan akan muncul menjadi masalah karena teknologi yang digunakan tidak bebas nilai, sarat dengan muatan kepentingan.
Hingga pada akhirnya, situasi akut tersebut, tegas Bartlett, menjadi tantangan terbesar peradaban. Akankah demokrasi dan identitas negara hilang lalu melenyap menjadi kuasa digital absolut?.
Pertanyaan pentingnya, dimana kedudukan publik? Disinilah kita perlu menempatkan sudut pandang alternatif.Â