Beragam! Tidak tunggal. Pandemi dapat dilihat melalui berbagai sisi. Covid-19 tidak bersifat monolitik. Rentang pemahaman atas situasi wabah terbentang dalam spektrum yang luas.
Begitu kajian Forum Dosen dalam buku Corona: Virus, Bisnis atau Konspirasi? 2020. Buah pemikiran para akademisi lintas disiplin ilmu. Kekayaan perspektif diperlukan guna memahami serta mampu melihat utuh persoalan pandemi.
Setidaknya varian sudut pandang terbagi ke dalam aspek kesehatan, sosiologi, pendidikan, agama & budaya, komunikasi/ politik, hukum, ekonomi hingga arsitektur dan pertanian.
Buku setebal 230 halaman itu memuat 43 gagasan para ilmuwan yang mewakili berbagai bidang ilmu, koherensi setiap artikel terletak pada upaya menjelaskan bagaimana kita memberikan pemaknaan tentang corona.
Mungkinkah Konspirasi?
Teori ini mencuat dan kemudian menguat, karena prinsip utamanya menyebut bahwa tidak ada yang pernah terjadi secara tiba-tiba dan tanpa sebab-akibat sebagai hukum yang menyertai.
Pada aras kemungkinan, maka semua pintu probabilitas terbuka tanpa terkecuali untuk dapat menjelaskan sebuah fenomena, termasuk pandemi. Konspirasi adalah persekongkolan.
Dalam teori konspirasi termuat penyusunan agenda secara sistematik dan eksekusi terencana. Dipangkal teorinya, menyoal kepentingan segelintir pihak mengendalikan populasi.
Salahkah cara berpikir seperti itu? Terlebih ketika banyak ruang gelap terkait informasi asal-usul virus dan respon cepat negara-negara maju dalam komersialisasi metode penanganan berupa vaksinasi.
Argumen teori konspirasi terus berkembang seiring dengan ketidakmampuan bersama dalam menjelaskan duduk persoalan yang dihadapi. Konflik dua kutub kekuatan dunia juga membingkai alur berpikir dengan basis pemufakatan jahat.
Teori konspirasi terbilang canggih dalam melihat relasi kejadian yang ada, dengan menggunakan asumsi korelasional, bahwa segala sesuatunya bersifat saling terkait, berhubungan dalam kausalitas dan tidak terpisahkan.
Kritik terhadap cara berpikir konspirasi adalah dengan menerangkan bahwa manusia memiliki kapasitas rasional yang terbatas -bounded rationality, dan upaya mencari pangkal soal akan menghabiskan waktu, sebuah keistimewaan yang tidak kita miliki di situasi krisis global.
Kemanusiaan yang Digital
Perlu ditegaskan, kita berhadapan dengan pandemi yang dipicu oleh adanya wabah disebabkan virus, jasad renik tak kasat mata, hingga hari ini dunia masih dalam tekanan penularan.
Penyakit menular inu memaksa kita berubah, dan beradaptasi dengan model-model baru, sebuah kehidupan digitalisasi yang semakin dipercepat. Termasuk di bidang pendidikan dan ekonomi.
Globalisasi dan pertukaran barang serta jasa lajunya sedikit diperlambat, namun esensi bentuknya berubah melalui transaksi online. Begitu pula model pendidikan jarak jauh, menjadi sebuah kenyataan yang tidak terelakkan.
Dunia dibatasi dan berjarak, meski hakikatnya tetap berkumpul dan tidak terbatas di ranah maya. Apakah pandemi sebuah bisnis? Jelas pandemi menciptakan peluang orientasi bisnis baru.
Tetapi menyebut pandemi sebagai bisnis, seolah melupakan bila kita adalah makhluk etis yang sudah seharusnya menjaga kepentingan serta keselamatan nyawa manusia di atas segalanya.
Kematian adalah bidang ketakutan yang selalu diupayakan untuk dapat dihindari oleh manusia, pun begitu dalam pandemi, meski anggaran perang semua negara juga terus bertambah.Â
Pandemi mengubah cara pandang, negara tidak biaa tidak harus melindungi rakyatnya, dengan pengorbanan tertinggi. Kemanusiaan menjadi hal yang seakan dipertaruhkan dalam menangani wabah. Disitu titik pijak bertindak.
Filsafat Kedangkalan
Perubahan yang bersifat anomali merupakan indikasi krisis, dalam situasi krisis terdapat sifat dan karakteristik yang mengemuka, (i) surprise -keterkejutan (ii) threat -ancaman, (iii) limited time -waktu yang terbatas.
Manusia dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern, ternyata dipaksa oleh pandemi untuk kembali ke dasar pengetahuan lama. Karantina, isolasi hingga menjaga kebersihan adalah hal pokok.
Wabah membalik kesombongan manusia, sebagai homo sapiens -makhluk yang berpikir, manusia berbangga menyelesaikan berbagai kebutuhannya dengan instrumentasi teknologi.Â
Bahkan, merujuk Yuval Harari, umat manusia mulai menggunakan teknologi untuk berperan layaknya pencipta -homo deus. Rekayasa dan sintesis genetik mulai dikembangkan, perilaku manusia berubah -playing as a god.
Pandemi mencipta krisis, membuat manusia berpikir ulang, menundukan ego dan keangkuhannya. Tidak hanya itu kematian akibat wabah membuat sistem fungsi sosial terguncang -dysfunctional society. Kita panik, saling berebut, tidak memperdulikan pihak lain.
Pada akhirnya, kita harus kembali tersadar di setiap perjalanan wabah dalam peradaban umat manusia selalu membentuk pemahaman baru yang dapat dipelajari, bahwa kita adalah komunitas di lingkaran risiko -risk society yang bergerak dinamis dalam ketidakpastian -uncertainty.
Hal akhir yang perlu menjadi pemikiran pokok adalah kita tidak bisa hidup sendiri, kita adalah bagian dari lingkup kehidupan sosial, karena itu perlu strategi untuk memastikan eksistensi dan keberlanjutan hidup dengan refleksi kebersamaan -reflective society.
Buku hasil rembuk serta kolaborasi para pemikir di Forum Dosen ini selayaknya menjadi asupan dan tidak dapat dilewatkan begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H