Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fareed Zakaria dan Pelajaran Pandemi

2 Juli 2021   13:24 Diperbarui: 2 Juli 2021   13:24 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kontras! Di benua Eropa momen pertandingan sepak bola antar negara berlangsung meriah. 

Sementara itu di Wuhan, digelar wisuda sebelas ribu mahasiswa secara terbuka. Kita justru tengah berada di fase kedua gelombang pandemi. Juga ada perayaan seabad Partai Komunis China.

Singapura berencana hidup bersama Covid-19, sebagai hal realistis karena yang dapat dilakukan adalah melokalisir penularan wabah.

Melejit. Angka pertambahan kasus jauh lebih tinggi dibandingkan periode pertama. Grafiknya curam, seperti tebing vertikal. 

Sebagian kalangan menyebut kontribusi peningkatan yang tinggi disebabkan (i) mutasi varian baru, (ii) ditambah dengan penurunan kedisiplinan publik melaksanakan protokol kesehatan, (iii) hingga kelemahan penegakan aturan dan kebijakan penanganan pandemi.

Kita bisa membuat rangkaian analisis yang terjadi, tetapi perlu juga secara bijak mengambil pelajaran kembali pada siklus kedua kali ini.

Renungan Fareed

Siapa Fareed? Seorang jurnalis di CNN yang aktif mengisi kolom pada The Washington Post, keturunan India di Amerika dengan gelar PhD serta menjadi penulis buku.

Di buku terbarunya, Sepuluh Pelajaran untuk Dunia Pasca Pandemi, 2021, Fareed menuangkan pemikiran yang relevan dengan realitas dalam periode pandemi sampai hari ini.

Bagi Fareed, wabah yang ditengarai berasal dari kelelawar bukan sekedar persoalan aspek kesehatan semata, tetapi merupakan ilustrasi besar yang kompleks dari peradaban manusia.

Pada kenyataannya, kini manusia dengan segala kebesaran dan pencapaiannya justru dikurung ketakutan oleh makhluk mikroskopik yang bahkan tidak terlihat oleh mata. Ada ruang refleksi.

Pandemi menjadi alarm, yang mengirimkan sinyal tanda bahaya. Perlu ada perbaikan, mengencangkan sabuk pengaman, agar kita bersiap untuk resiko terburuk yang akan terjadi.

Untuk bisa keluar dari situasi pelik tersebut, Fareed menyampaikan poin-poin pokok penting agar wabah dapat ditangani, karena pada kenyataan sejarah, wabah akan selalu berakhir.

Fareed menyebut dibutuhkan kualitas pemerintahan yang kompeten untuk mampu mengatasi pandemi. Berkaca pada kondisi Amerika sebagai negara besar yang kerepotan menghadapi wabah.

Bahkan bila dibandingkan Taiwan, Hongkong dan Singapura, penanganan Covid-19 di negeri Paman Sam dapat dibilang tertinggal. Fokusnya pada kepemimpinan kolektif yang mampu menampilkan kualitas penyelesaian masalah.

Negara, Pasar serta Ilmuwan

Masa pandemi, jelas Fareed, merupakan situasi anomali. Mekanisme pasar tidak lagi mampu bekerja sempurna serta menjadi indikator mutlak. Dalam hal itu negara mengambil alih peran, melakukan intervensi.

Negara wajib masuk ke gelanggang pertempuran melawan wabah, memutuskan langkah penting dan prioritas dalam menyelamatkan warga negara. Tidak bisa tidak, menjadi kewajiban.

Aktor yang turut berperan selama pandemi, adalah para ilmuwan. Tetapi tidak bisa sendirian, ilmuwan dan publik harus membangun harmoni, keduanya berinteraksi secara timbal balik.

Karantina dan isolasi menjadi himbauan yang sering disampaikan, meski pada hakikatnya tidak menghilangkan sifat manusia sebagai makhluk komunal yang hidup secara sosial.

Perantaraan teknologi menjadi pengganti interaksi fisik, dan ketergantungan itu akan semakin besar dari waktu ke waktu. Situasi ini, bagi Fareed, membuat ketimpangan melebar.

Tidak hanya antar negara, bahkan antar lapis ekonomi masyarakat pun terjadi kesenjangan, dalam uraiannya Fareed menyebut, perlu upaya bersama, kolaborasi antar bangsa sebagai umat manusia.

Dengan begitu kerangka nasionalisme vaksin yang seolah menempatkan persaingan antar negara, harus diurai menjadi kerangka kerjasama global, yang akan semakin menguatkan letak penting globalisasi.

Seluruh catatan itu memang tampak idealis disatu sisi, namun bagi Fareed, mereka yang idealis itu justru lebih realistis, dengan menimbang apa yang terjadi selama pandemi berlangsung. 

Penutup renungan Fareed, tidak ada panduan manual yang datang bersama pandemi, seluruh hasil akhirnya ada di tangan umat manusia itu sendiri. Pilihan direntangkan dan ditimbang. Nilai kemanusiaan dan moralitas perlu dikembangkan.

Bagi kita di Indonesia, adakah kita mampu belajar dari lonjakan di gelombang kedua? Kita tengah berselancar diatas ombak bergulung. Perlu kesadaran serta kemauan bersama untuk memecahkan masalah ini bersama-sama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun