Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup di Negeri Preman

12 Juni 2021   22:11 Diperbarui: 12 Juni 2021   22:22 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mayoritas diantaranya berpendidikan rendah dan miskin, maka bentuk kuasa jalanan adalah soal persabungan nyawa. Hidup mati dalam makna yang sesungguhnya.

Setelah Petrus, para prema menjadi lebih jinak dan dapat dikendalikan. Kelompok preman ini kemudian mulai merubah diri menyikapi kondisi yang berbeda. Mereka menjadi kaki tangan dari instrumen legal dengan sebutan beking.

Tidak berhenti disitu, para preman mulai mengorganisir diri dalam struktur baku, bahkan mulai melegalkan diri melalui jalur administrasi hukum negara dalam payung yang sah.

Mereka bertindak sebagai aktor di depan layar, dari sutradara yang tidak terlihat dan menjadi beking kegiatan yang dilakukannya. 

Lambat laun, posisi tersebut mendapatkan titik lompat di ruang politik. Tidak lagi sekedar mengandalkan otot.

Kemampuan untuk merekrut anggota, membangun solidaritas, hingga menggerakkan massa menjadi keunggulan dari format baru organisasi preman ini. Hal ini kemudian membuatnya menjadi lebih memiliki daya tawar.

Tidak hanya soal jatah preman yang dihitung, tetapi juga akses ke posisi strategis yang dekat dengan urusan publik menjadi area negosiasi. 

Namun begitu, Orde Baru masih mampu memainkan tali kekang untuk mengambil kendali.

Pada akhirnya, kondisi berubah selepas reformasi 1998. Terjadi dekonstruksi atas sentralisasi kendali yang sebelumnya dalam kekangan Orde Baru. 

Kini semua pihak memainkan caranya, ketika terjadi proses transisi kekuasaan yang seolah menjadi ruang hampa legitimasi aktor politik formal, para aktor informal mendapatkan panggungnya.

Sebagian memainkan simbol rekatan etnisitas, khususnya di Jakarta dengan nama Betawi sebagai entitas penduduk lokal. Selain itu juga dimunculkan sentimen kelompok keagamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun