Praktis, bersamaan dengan kehancuran kantor perwakilan media tersebut maka wacana mainstream mengenai perang Palestina-Israel dikuasai oleh kepentingan pro Israel.Â
Kendali dan dominasi itu, hanya bisa dikonfrontir dengan menggunakan arus media baru, yakni media sosial. Berbagai aplikasi pesan dan platform online mampu menjadi sarana perlawanan atas tindakan semena-mena Israel.
Pada linimasa media sosial, ruang pertarungan cyber terjadi. Konstruksi opini dibangun baik oleh kelompok pro maupun kontra.
Sekurangnya, ada tiga bentuk perspektif yang berkembang, (i) perang Palestina-Israel bertalian dengan kaitan agama, (ii) konflik yang terjadi sesungguhnya merupakan bagian dari perebutan serta pengakuan wilayah kekuasaan, (iii) saling serang terus terjadi karena proksi pertarungan kepentingan kekuatan ekonomi dunia.
Israel dengan sekondan pendukung utamanya Paman Sam, jelas menggunakan hak veto sebagai keistimewaan di berbagai sidang PBB terkait serangan Israel.Â
Bahkan Joe Biden pun seolah menuding kambing hitam, bahwa Hamas yang menyulut serta memulai pertikaian. Tetapi fakta lapangan berbeda. Media sosial memainkan peran.Â
Keterlibatan publik untuk merekam gerik laku Israel yang mengusir paksa warga Palestina membuktikan kebiasaan serta ketidakadilan terjadi disana.Â
Kerangka framing media sesuai kepentingan Israel dan Amerika terbantahkan. Media arus utama berperan memperkuat sinyal mengenai informasi atas fakta yang terjadi.
Pada akhirnya dalam sebuah konflik, hukum besinya menyebut: menang jadi arang, kalah jadi abu. Semua pihak menderita kerugian. Tentu penduduk dikedua belah pihak yang menjadi korban.
Mengulik keberadaan Israel yang mendasarkan klaim sepihak atas riwayat kisah dimasa lalu atas sebuah teritori yang terjanjikan tentu sebuah kenaifan.Â
Tetapi melongok pada kesendirian Palestina, serta sikap diam negara-negara Arab di wilayah terdekatnya, mengingatkan kita tentang pentingnya menjalin relasi dan solidaritas internasional.