Penurunan berita yang menggunakan berbagai judul sensasional mengejar clickbait, baginya teramat mengkhawatirkan.
Perilaku media ini, mengaburkan esensi atas fakta dengan tidak mempertimbangkan (i) impact -dampak yang ditimbulkan, dan (ii) irreversible -kondisi kerusakan yang tidak dapat dikembalikan seperti semula.
Akar Masalah
Ketika lanskap media mengalami perubahan, dengan keriuhan media digital dan diperkuat media sosial, serta terbentuknya kehidupan masyarakat jejaring, situasi anomali terjadi.
Upaya untuk menjaga kredibilitas jurnalisme dengan verifikasi dan kurasi, tidak lagi menjadi pakem utama. Buzzer turut bermain kepentingan untuk membangun dan meruntuhkan citra. Â
Efek kegaduhan diciptakan untuk memperbesar traffic -kunjungan ke portal media, viralitas diburu demi mengejar klik. Media abal-abal tumbuh silih berganti bak cendawan di musim hujan.
Fenomena baru ini membenarkan tesis Anang, dkk, Media dan Dinamika Demokrasi, 2020, tantangan media baru adalah terciptanya ruang kosong dalam menjaga kehormatan jurnalistik, sebagai konsekuensi dari hilangnya nilai akurasi, proporsionalitas dan keadilan.
Kondisi tersebut merupakan bagian dari bobot dominan ekonomi politik sebagai panglima, dibanding memastikan kebenaran. Padahal fakta adalah mahkota informasi dan pemberitaan.
Sebagaimana Eriyanto, Media dan Opini Publik, 2018, sasaran pemberitaan adalah khalayak dengan konstruksi pada opini. Di era Internet, peran itu terbagi melalui partisipasi netizen.
Maka persoalan ini didekati dalam dua level, (i) aspek struktural, mengedepankan perumusan peraturan dalam upaya penertiban lembaga media, (ii) aspek kultural, mendorong upaya literasi publik dalam memilih-memilah informasi.
Bila Effendi Gazali sang mantan Guru Besar Ilmu Komunikasi menjadi resah dengan fenomena dispress, sudah sepatutnya kita mulai berpikir ulang tentang tata kelola media di masa depan.