Dikembalikan! Gelar Profesor itu ditinggalkan oleh Effendi Gazali. Tidak banyak akademisi yang seberani itu dalam melepas sebuah titel kehormatan di dunia akademik.
Pernyataan terbuka Effendi dilangsungkan di media sosial YouTube milik Refly Harun, hampir selama 30 menit lamanya dibeberkan alasan-alasan pengembalian SK Guru Besar.
Dengan jumlah subscriber sebanyak 1.3 juta, dan jumlah views atas pernyataan Effendi sudah ditonton lebih dari 52 ribu kali, terbilang efektif untuk menyuarakan isi hati dan pikirannya.
Berbagai poin penting dari orasi Effendi terurai, sebagai ahli dibidang ilmu komunikasi khususnya media massa, terdapat kegundahan dan kegelisahan dirinya melihat perilaku media.
Hal ini melengkapi informasi yang sudah beredar sebelumnya di berbagai grup whatsapp, bahwa Effendi tidak ingin menimbulkan dampak bagi institusi kampus tempatnya mengajar.
Dispress sebuah Realitas
Sebagai mantan Guru Besar Ilmu Komunikasi, Effendi resah karena terjadi situasi anomali dari kondisi pers tanah air, hal yang memprihatinkan, disebutnya sebagai fenomena dispress.
Effendi menjelaskan dis-press sebagai distorted press atau pers yang terdistorsi, dalam makna lain pers yang telah secara mental dan moral terpelintir.Â
Hal itu merupakan konsekuensi dari efek kompetisi media untuk menjadi pihak pertama yang meng-upload sebuah berita, sehingga meninggalkan akurasi dan kode etik.Â
Apa yang disampaikan Effendi perlu dicermati di era media online. Verifikasi faktual memang kerap tertinggal dibanding rilis update sebuah berita di portal digital. Fakta seakan menjadi tidak relevan.
Kita perlu meletakkan konteks pernyataan Effendi, terkait posisinya sebagai saksi kasus suap bansos Covid-19. Ini pukulan beruntun, setelah momen korupsi ekspor benur, dimana Effendi menjadi penasihat menteri KKP.