Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ketahanan dan Kemandirian Kesehatan

31 Maret 2021   14:52 Diperbarui: 1 April 2021   05:20 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas memeriksa sampel napas GeNose C19 calon penumpang kereta api jarak jauh di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (4/2/2021). (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Berdikari! Konsep Berdiri Diatas Kaki Sendiri adalah pernyataan luas tentang kemandirian.

Termasuk soal kemampuan untuk membangun ketahanan berhadapan dengan berbagai kerentanan yang kita hadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Prinsip Berdikari disampaikan Bung Karno, dalam pidato Tahun Vivere Pericoloso, 1964 untuk menggambarkan situasi hidup yang menyerempet bahaya. Persis layaknya pandemi yang kini tengah dihadapi oleh semua negara di dunia. 

Momentum pandemi, semakin menguatkan kepentingan untuk membangun kemandirian, meski solidaritas dunia juga perlu digaungkan, karena penularan wabah bersifat global. 

Penundaan pengiriman vaksin Covid-19 dari India, karena kebutuhan domestiknya (CNBC, 26/3) menjelaskan hal tersebut. Tertundanya distribusi vaksin tersebut, berpotensi menjadi gangguan bagi proses vaksinasi di tanah air. 

Skema diplomasi dilancarkan pemerintah, untuk membuka keran pengadaan vaksin agar tidak terjadi kekosongan stok dalam upaya membentuk kekebalan komunal -herd immunity (Kompas, 30/3). Jelas tidak mudah. 

Vaksin kini menjadi kebutuhan mendasar, sekaligus menjadi komoditas yang sangat berharga, dalam upaya memerangi pandemi 

Seluruh negara di dunia yang dipaksa melambat sedikitnya dalam setahun belakangan karena pandemi, tentu kini semua pihak berupaya segera mengadakan vaksinasi populasi.

Kondisi tersebut menciptakan ruang ketimpangan, sekaligus menebalkan kesenjangan. Akses atas vaksin Covid-19 didominasi berbagai negara maju dan produsen.

Sementara itu, negara berkembang dan miskin yang bertindak sebagai konsumen justru memiliki posisi yang sangat lemah dan amat bergantung. 

Situasi ini telah diprediksi WHO tahun lalu, dalam terminologi nasionalisme vaksin (Kompas, 8/8). 

Pola nasionalisme vaksin menjadi tidak relevan dalam upaya melawan pandemi, karena konsep dasarnya adalah wabah global. Dibutuhkan pemulihan dunia secara bersama -no one is safe until everyone is.

Kontribusi Ilmuwan 

Kita berada dalam ambigu terbesar, dalam sebuah program kesehatan kolosal yakni vaksinasi massal dunia. 

Disatu sisi kita berbicara tentang pentingnya kolaborasi antar negara, disisi lain kita berhadapan dengan pragmatisme posisi yang tidak seimbang antara negara produsen dan konsumen. 

Konsep kemandirian sebagai bentuk ketahanan mencuat sekaligus menguat. Tercatat dalam tahun pandemi, inovasi lokal menjadi lebih produktif dibandingkan sebelumnya. 

Berbagai inisiatif pusat pendidikan dan lembaga penelitian difokuskan pada kontribusinya menghadapi pandemi.

Alat kesehatan yang bertumpu pada mekanisme import, kini dihasilkan oleh karya anak bangsa, termasuk ventilator UI Covent-20 yang telah laik untuk naik ke level produksi mengisi ruang kosong pasokan dalam negeri, sebelumnya didominasi produk luar negeri. 

Produk hasil kerja sama lintas fakultas di UI antara teknik dan kedokteran itu adalah terobosan baru yang bernas. Bahkan mungkin juga tidak terbayangkan sebelum pandemi. 

Berbagai hasil penelitian seakan dipaksa oleh keadaan untuk menjadi lebih praktis dan konkret, dibandingkan menjadi sekadar sarana percobaan dan uji coba dalam skala laboratorium. 

Di antara hasil produk tersebut, tercipta pula GeNose, sebuah hasil penelitian tim UGM yang dipergunakan untuk mendeteksi Covid-19 dengan hembusan napas serta menggunakan mekanisme kecerdasan buatan -artificial intelligence untuk menganalisis hasil sampling tersebut. 

Setelah mendapatkan pengakuan dan izin edar, GeNose dipergunakan di berbagai pusat aktivitas publik, termasuk di titik stasiun kereta api. Kini GeNose ditetapkan sebagai syarat perjalanan dalam aturan rinci larangan mudik melalui SE No 12/ 2021. 

Hal tersebut menjadi polemik baru, mengingat status GeNose berubah dari sebelumnya sebagai alat skrining, kini menjadi syarat bepergian (Kompas, 30/3). 

Perubahan model tersebut ditengarai pakar epidemiologi, berpotensi membuka peluang penularan wabah, karena alat deteksi bersifat eksperimental. 

Bagaimana kita bersikap atas polemik ini? (i) dalam pandemi yang terutama adalah mencegah perluasan paparan wabah, (ii) mendukung hasil produksi dalam negeri, dengan berbasis bukti dan ilmiah, serta (iii) memberikan ruang tumbuh bagi hasil penelitian domestik sebagai bentuk kemandirian lokal.

Bila begitu, bagaimana aspek turunan teknisnya? GeNose berbasis kecerdasan buatan, tentu akan menjadi semakin terlatih ketika berhadapan dengan berbagai kasus, karena itu sifatnya memang menjadi alat penapisan awal. 

Skemanya ditempatkan dalam dua kedudukan, (i) GeNose dipergunakan untuk menapis populasi dalam pembelian tiket, sementara itu (ii) standar rapid antigen dipakai sebagai syarat bagi penumpang untuk layak bepergian, dengan menggunakan kombinasi testing tersebut, keduanya menjadi terpakai dan melengkapi. 

Bukankah penambahan sarana tes menjadi beban bagi konsumen transportasi? 

Perlu dipahami pola lalu lintas manusia di masa pandemi berpotensi pada penularan, maka prinsip kehati-hatian menjadi hal utama sehingga mengesampingkan konsekuensi biaya, sebab mobilitas sudah semestinya dibatasi.

Vaksin Merah Putih dan Vaksin Nusantara

Kembali pada persoalan kemandirian di sektor kesehatan, dengan berkaca pada terhambatnya kiriman vaksin dari India, sesungguhnya para peneliti lokal sudah menghasilkan bibit vaksin merah putih sebagai hasil penelitian Lembaga Eijkman maupun dari Universitas Airlangga (Detik, 10/3). 

Pihak BPOM selaku regulator yang berwenang memberikan izin penggunaan menyampaikan bahwa keduanya akan memasuki berbagai tahap penelitian lanjutan, mulai titik awal uji praklinik.

Babak selanjutnya akan sangat terkait dengan keberhasilan calon vaksin melewati ujian-ujian tersebut. 

Estimasinya, bila seluruh proses terlewati dengan baik, maka vaksin merah-putih akan diperkirakan siap secepatnya pada periode Maret 2022. Kendala utama yang dihadapi para peneliti adalah kapasitas rekanan pengembang vaksin secara industrial. 

Hal ini yang perlu menjadi ruang evaluasi. Perangkat industri milik negara berlabel BUMN sudah seharusnya menjadi lokomotif gerak, bersifat wajib. 

Sehingga, tidak terjadi keterputusan antara hasil penelitian skala laboratorium dengan kerangka produksi hasil penelitian. Persoalan ini menjadi catatan penting.

Disisi lain, ada pula vaksin nusantara yang menggunakan sel dendritik untuk mengatasi Covid-19. 

Sesuai temuan BPOM, vaksin nusantara diminta untuk mengikuti kaidah medis (Tempo, 23/3) dengan berpusat pada pedoman good clinical practice yang melibatkan komite etik, serta transparansi data dan hasil. 

Merujuk hal tersebut terdapat kesimpulan utama, (i) dukungan terhadap produk domestik harus disandarkan pada aspek logis dan rasional, (ii) tidak meninggalkan prinsip ilmiah dan sains dalam upaya mengambil keputusan.

Di titik itu, nilai moralitas, kejujuran, dan kebenaran adalah batasannya. 

Otoritas BPOM sebagai badan regulator, tidak bisa disubordinasi hanya berdasarkan intervensi, instruksi atau bahkan tekanan kekuasaan. 

Lembaga pengatur izin obat dan makanan itu harus mengabdikan dirinya pada kepentingan bagi keselamatan publik secara luas, dengan dasar keahlian profesional.

Kita jelas mendukung produk-produk lokal, sebagaimana seruan untuk membenci produk asing yang telah digaungkan petinggi negeri (Kompas, 16/3). 

Sebagaimana Bung Besar Proklamator menyampaikan konsepnya tentang Berdikari yang saling terkait dengan arus utama paradigma yang menyertainya.

Rangkuman tersebut dikenal sebagai Trisakti, yang mengelaborasi (i) kedaulatan politik, (ii) berdikari secara ekonomi dan (iii) kepribadian dalam kebudayaan. 

Oleh karena itu, seruan kemandirian tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya sokongan kedaulatan dan kebudayaan untuk mewujudkan ketahanan nasional di bidang apapun! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun